EKBIS.CO, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengingatkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebenarnya dapat mendorong kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Enny mengatakan hal tersebut karena selama ini APBN belum mampu menekan tingkat kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran secara optimal pada masyarakat.
“Tinggal dilihat indikator kesejahteraan masyarakat yang sampai sekarang ada,” katanya di Jakarta, Senin (30/9).
Menurutnya, angka pengagguran dan kemiskinan memang menurun dari tahun ke tahun, tapi sangat lambat dan masih jauh jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk miskin Indonesia hingga Maret 2019 sebesar 25,14 juta orang yaitu menurun sekitar 810.000 penduduk dibanding periode yang sama 2018, atau tercatat 9,41 persen dan menurun 9,82 persen dibanding tahun sebelumnya.
Jika dilihat dari Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia per Februari 2019 yaitu 5,01 persen. Tingkat Pengangguran Terbuka tersebut merupakan perbandingan antara jumlah pengangguran dengan jumlah total angkatan kerja.
Namun angka Tingkat Pengangguran Terbuka tersebut berada di urutan kedua terbanyak di antara negara-negara ASEAN dengan Filipina berada diperingkat kesatu yang memiliki tingkat pengangguran sebesar 5,1 persen per Juni 2019, sedangkan Malaysia 3,3 persen dan Vietnam 2,16 persen.
“Standar internasional kemiskinan itu sekitar 2 dolar AS per hari. Kita Rp 400 ribu per bulan kan berarti enggak ada satu dolar per hari. Tapi kalau kita mau jujur dengan garis kemiskinan Rp 400 ribu per bulan itu kualitas hidupnya seperti apa, karena hanya cukup memenuhi pangan saja,” ujarnya.
Selain itu, Enny menuturkan ketimpangan pendapatan pada ratio memang menurun tapi lambat karena masih 0,38 persen, serta masih adanya ketimpangan daerah yaitu antara desa dan kota dari sisi akses produktif seperti penguasaan lahan dan penguasaan modal.
“Ini kan satu persen saja yang punya akses ke modal. Bahkan sau persen orang Indonesia sudah menguasai sekitar 59 GDP kalau dari sisi modal, akses lahan juga ketimpangannya tinggi yaitu 0,7 persen,” katanya.
Ia melanjutkan, kualitas pembangunan juga mengalami penurunan karena pembangunan yang berkualitas adalah bisa menghadirkan peningkatan terhadap sektor produksi. Sedangkan lima tahun terakhir menunjukkan sektor produksi yang justru menurun, misalnya pada investasi dalam GDP yang semula sekitar 34 persen kini menjadi 32 persen karena terjadinya deindustrialisasi.
“Bergeser ke jasa tapi bukan jasa yang bisa menopang sektor utama. Justru yang berkembang jasa pedagangan, transportasi, dan angkutan yang banyak didominasi oleh pemain asing sehingga membunuh pemain domestik,” katanya.
Enny menuturkan, pemerintah harus bisa menjadikan kualitas pertumbuhan ekonomi yang menurun sebagai evaluasi dari proses kebijakan pembangunan karena peran APBN seharusnya dapat menjadi stimulus.
“Harusnya jadi penopang dan pendorong agar proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lebih berkualitas sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.