EKBIS.CO, JAKARTA – Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia (Akumindo) menolak keras kewajiban minyak goreng kemasan pada tahun depan. Kewajiban itu dianggap bakal mematikan produsen minyak curah dan berpotensi mendompleng bisnis pelaku usaha kalangan menengah ke atas.
Ketua Akumindo Ikhsan Ingratubun mengatakan, kebijakan pelarangan minyak goreng curah tidak sejalan dengan nafas pemerintah yang selalu ingin mengedepankan UMKM. Larangan terhadap peredaran minyak goreng curah dinilai sebagai bukti bahwa pemerintah justru tak berpihak pada pelaku UMKM.
“Kami sangat tidak setuju minyak curah dilarang beredar, pemerintah jangan pro pengusaha besar saja dong,” kata Ikhsan saat dihubungi Republika, Senin (7/10).
Dia menjabarkan, apabila minyak goreng curah dilarang, maka akan terjadi penyusutan ekonomi di sektor UMKM. Hal itu lantaran baik produsen serta konsumen minyak goreng curah masih relatif besar, terutama yang berada di daerah. Hanya saja Ikhsan belum memiliki data pasti jumlah produsen minyak curah dan produksi secara keseluruhannya.
Seperti diketahui, pemerintah mewajibkan peredaran minyak goreng di pasaran baik di sektor ritel maupun tradisional berbentuk kemasan di tahun depan. Pertimbangannya yakni karena minyak goreng curah yang beredar saat ini cenderung tak sehat karena bahan bakunya berasal dari minyak bekas pakai di restoran-restoran.
Selain itu, produsen dan pelaku usaha minyak goreng curah juga kerap memanipulasi harga dan takaran minyak di pasaran. Harusnya, menurut dia, jika pertimbangan pelarangan minyak goreng curah berkaitan dengan mutu kesehatan serta kehalalannya, pemerintah perlu memberikan pembinaan secara masif.
Selain itu, insentif juga perlu diberikan seperti melakukan sertifikasi halal gratis bagi pelaku UMKM yang ingin mensertifikasi produk minyak curahnya. “Dibina, diberi insentif harusnya kalau memang mau mutu dan halalnya terjamin,” ujarnya.
Karena sejujurnya, lanjut dia, mayoritas pelaku UMKM mengeluhkan minimnya pembinaan serta insentif mensertifikasi produknya. Dia menduga, kebijakan mewajibkan minyak goreng kemasan di peredaran adalah pesanan sektor ritel.
Padahal menurutnya, produk-produk UMKM sulit sekali menembus pasar ritel karena banyaknya persyaratan yang perlu dipenuhi.
Adapun persyaratan yang dimaksud antara lain kesehatan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Standar Nasional Indonesia (SNI), sertifikat halal, dan juga ketentuan masa berlaku produk atau label kedaluwarsa. Persyaratan ini, kata Ikhsan, sangat berat dipenuhi oleh UMKM baik secara proses maupun biaya.
Sedangkan untuk beralih menjadi produsen minyak goreng kemasan, produsen minyak goreng curah yang tergabung dalam UMKM akan sulit beralih. Untuk itu dia memprediksi bahwa produsen minyak goreng curah dipastikan bakal berguguran karena tak sanggup menahan biaya produksi berkemasan.
“Ini ibaratnya yang kecil-kecil mau diadu dengan yang kuat-kuat. Jelas menang yang kuat modalnya,” kata Ikhsan.
Lebih lanjut Ikhsan menuturkan, minyak goreng curah yang ada selama ini dikelola oleh industri-industri rumahan dengan bahan baku minyak kelapa yang diolah menjadi minyak. Selain itu ada juga yang diolah dari bahan baku yang berasal dari sisa-sisa buah sawit yang dimanfaatkan sedimikian rupa sehingga menjadi minyak kemasan.
Meski dia juga mengakui, minyak goreng curah juga berasal dari daur ulang minyak-minyak yang sebelumnya sudah dipakai.
Dia juga menyayangkan langkah Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang tak mampu bersikap banyak terkait pelarangan minyak curah. Padahal, kata dia, dalam nomenklatur Kemenperin terdapat sektor Industri Kecil Menengah (IKM) yang alokasi anggarannya diatur dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Dihapus saja itu anggaran IKM kalau industrinya justru enggak ditolong,” ujarnya.