EKBIS.CO, JAKARTA – Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengimbau pemerintah untuk memberikan insentif kepada produsen minyak goreng curah. Hal itu seiring dengan adanya kebijakan bahwa seluruh minyak goreng wajib berkemasan.
Seperti diketahui, pemerintah mewajibkan peredaran minyak goreng di pasaran baik di sektor ritel maupun tradisional berbentuk kemasan di tahun depan. Pertimbangannya yakni karena minyak goreng curah yang beredar saat ini cenderung tak sehat karena bahan bakunya berasal dari minyak bekas pakai di restoran-restoran.
Selain itu, produsen dan pelaku usaha minyak goreng curah juga kerap memanipulasi harga dan takaran minyak di pasaran. Rencananya, para produsen minyak curah juga bakal dialihkan untuk memproduksi minyak goreng kemasan.
"Kalau mau dialihkan, produsen yang curah ini memang perlu dibina dan diberi insentif,” ujar Rusli saat dihubungi Republika, Senin (7/10).
Rusli menjabarkan, alasan pemerintah untuk menghentikan peredaran minyak goreng curah di pasaran terbilang masuk akal. Namun meski begitu pemerintah juga tak boleh lalai melakukan pembinaan agar para produsen minyak curah yang telah eksis dapat beralih.
Selain itu, kata dia, langkah pemerintah untuk mewajibkan minyak kemasan juga dapat mendorong konsumsi sawit di kancah domestik. Alasannya seperti diketahui, status sawit Indonesia tengah dipermasalahkan oleh Uni Eropa dengan tuduhan tak ramah lingkungan dan isu deforestasi. Hal itu membuat ekspor Indonesia terhadap crude palm oil (CPO) beserta turunannya otomatis mandek.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan), produksi kelapa sawit sebesar 48,68 juta ton di 2018. Produksi tersebut terdiri dari 40,57 juta ton CPO dan 8,11 juta ton minyak inti sawit atau palm kernel oil (PKO).
Jumlah produksi berasal dari perkebunan sawit rakyat sebesar 16,8 juta ton atau 35 persen, perkebunan besar negara 2,49 juta ton, dan perkebunan besar swasta sebesar 29,39 juta ton.
Dari catatan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia tercatat, 70 persen dari produksi sawit di 2018 dialokasikan bagi pasar ekspor. Sedangkan 30 persennya dikonsumsi di dalam negeri. Adapun kontribusi devisa minyak sawit sebesar Rp 18,9 miliar bagi Indonesia.
Hanya saja dia menggarisbawahi, penggunaan konsumsi sawit melalui kebijakan kewajiban minyak goreng kemasan juga perlu ditinjau lebih jauh. Sebab ke depan penggunaan plastik akan semakin jauh lebih masif imbas dari kebijakan yang ada.
“Persoalan lainnya soal lingkungan, pemerintah harus punya opsi-opsi penggunaan plastik ramah lingkungan juga dalam kebijakan ini,” ujarnya.
Untuk itu dia mengimbau kepada pemerintah agar menghitung ulang estimasi produksi yang ditambah dengan plastik ramah lingkungan. Sebab sepanjang pengetahuannya, harga plastik ramah lingkungan belum terjangkau karena belum diproduksi secara masif.