EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menuturkan, ada dua opsi yang dimiliki pemerintah untuk memperbaiki neraca dagang sampai akhir tahun. Opsi itu adalah memanfaatkan perjanjian perdagangan dan diversifikasi komoditas yang diekspor.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Andry menyebutkan, share terbesar untuk ekspor non migas berada pada komoditas lemak dan minyak hewan/ nabati. Hanya saja, harganya memang turun di pasaran, terutama minyak sawit.
"Apabila pemerintah mau mengandalkan komoditas ini sebagai senjata ekspor, perjanjian dagang dengan mitra-mitra harus diperkuat," katanya ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (15/10).
Sepanjang Januari sampai September 2019, nilai ekspor untuk golongan barang lemak dan minyak hewan/nabati mencapai 12,40 miliar dolar AS. Meski nilainya turun 18,76 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, peranannya terhadap total ekspor Indonesia mencapai 10,81 persen.
Di sisi lain, Andry menuturkan, pemerintah bersama industri juga harus menyeleksi perjanjian perdagangan yang dapat menguntungkan Indonesia. Khususnya mampu memberikan nilai tambah bagi Indonesia
"Sembari meningkatkan hilirisasi komoditas tersebut di dalam negeri," tuturnya.
Tapi, apabila tidak ingin ketergantungan terhadap komoditas tersebut, cara lain adalah melakukan diversifikasi komoditas yang diekspor. Cara ini cenderung lebih efektif mengingat harga komoditas pada golongan lemak dan minyak hewan/nabati fluktuatif di pasaran.
Andry menjelaskan, diversifikasi memang akan memakan waktu lama. Pil pahit yang ditelan adalah penurunan ekspor non migas di jangka pendek. Namun, upaya ini mampu menjadi solusi memperbaiki neraca dagang untuk jangka panjang.
BPS mencatat, secara akumulasi periode Januari sampai September 2019, defisit neraca dagang Indonesia mencapai 1,95 miliar dolar AS. Nilai ini jauh di bawah kondisi defisit pada periode yang sama pada tahun lalu, yaitu 3,8 miliar dolar AS.
Defisit sepanjang sembilan bulan pertama di tahun ini disebabkan neraca migas yang masih mengalami defisit sebesar 6,4 miliar dolar AS. Sedangkan, neraca dagang non migas surplus 4,4 miliar dolar AS.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, kondisi global yang serba tidak pasti masih menjadi faktor penghambat perbaikan kinerja neraca dagang Indonesia. Negara-negara yang jadi tujuan utama ekspor Indonesia menurunkan tingkat permintaan sebagai dampak dari perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara mereka. "Sebut saja Cina, Amerika hingga Jepang," ucapnya.