EKBIS.CO, JAKARTA -- Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan rendahnya harga gas dunia menjadi salah satu faktor yang menyebabkan realisasi lifting minyak dan gas bumi pada kuartal-III Tahun 2019 tidak mencapai target APBN. SKK Migas mencatat realisasi lifting migas hingga September 2019 mencapai 89 persen atau 1,8 juta barel setara minyak per hari (boepd), dari target APBN sebesar 2 juta boepd.
Total lifting migas sebesar 1,8 juta boepd dengan rincian lifting minyak 745 ribu bopd dan lifting gas 1,05 juta boepd. Sebesar 84 persen total lifting hulu migas merupakan kontribusi dari sepuluh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) utama dan16 persen didukung 80 KKKS lainnya.
"Lifting kita di tahun 2019 ini agak terpukul karena sebagai besar akibat harga gas dunia yang semakin rendah, sehingga lebih baik kita menyimpan gasnya, daripada kita jual," kata Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto pada konferensi pers di Jakarta, Kamis (24/10).
Dwi mengatakan di tengah harga gas dunia yang rendah, pihaknya memutuskan untuk menyimpan gas dibanding menjualnya ke pasar. Keputusan ini berdampak pada pengurangan produksi, terutama di Kilang LNG Bontang, Tangguh dan Donggi Sonoro
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Keuangan dan Monetasi Arief Setiawan Handoko mengatakan harga gas yang kian turun tersebut juga membuat pembatalan penjualan LNG karena harga yang sudah tidak sesuai dengan kontrak dengan pembeli.
"Harga LNG ini memang drop terus sampai ke titik terendah di bawah 4 dolar AS per MMBTU. Kami berpikir tidak mungkin menjual karena beda harga kontrak LNG dengan buyer," kata Arief.
Selain karena harga gas, kebakaran hutan dan lahan di wilayah Sumatra membuat produksi Blok Rokan terhenti demi menjaga aspek keselamatan karyawan. Di sisi lain, Blok Rokan menjadi salah satu wilayah kerja penyumbang lifting migas Nasional.
Faktor ketiga yang membuat lifting migas meleset adalah bocornya sumur YYA-1 di blok lepas pantai Pertamina Hulu Energi North West Java (PHE ONWJ). Kejadian tersebut menyebabkan kehilangan tambahan produksi dan lifting migas.
Lifting migas yang belum mencapai target juga berdampak pada realisasi penerimaan negara yang hingga September 2019 mencapai 10,99 miliar dolar AS. "Hal ini (penerimaan negara) juga dipengaruhi ICP (Indonesia Crude Price) yang sekitar 60 dolar AS per barel. Ini cukup jauh di bawah target asumsi makro APBN yaitu 70 dolar AS," kata Dwi.