EKBIS.CO, JAKARTA -- Mengurai benang kemiskinan di suatu negara bukanlah tugas mudah. Kemiskinan merupakan akar masalah dari negara berkembang, seperti Indonesia.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo jilid I menargetkan angka kemiskinan bisa ditekan hingga level 7-8 persen pada 2019. Sayangnya hingga Maret 2019, jumlah penduduk miskin masih di angka 9,41 persen.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin mencapai 27,73 juta jiwa atau sekitar 10,96 persen pada 2014. Secara bertahap angka kemiskinan terus menurun, meski pernah naik pada 2015 saat pemerintah mencabut subsidi BBM. Saat itu penduduk miskin ada di angka 28,59 juta.
Tercatat pada Maret 2019, jumah penduduk miskin sebesar 25,14 juta jiwa. Jumlah ini sudah berkurang 2,59 juta jiwa dari posisi September 2014 atau sebulan sebelum Jokowi dilantik pada periode pertama. Selain itu, persentase penduduk miskin turun sebanyak 155 basis poin menjadi 9,41 persen.
Direktur Eksekutif Center of Reform Economics (CORE) Mohamad Faisal memandang angka penurunan kemiskinan memang konsisten sepanjang periode pertama kepemimpinan Jokowi. Kondisi ini berbeda dengan pemerintahan sebelumnya yang mengalami fluktuasi.
Walau begitu, ia menganggap target penurunan kemiskinan terlalu tinggi. Alhasil, pemerintah sulit melampauinya hingga masa kepemimpinan pertama Jokowi berakhir.
"Konsisten turun, tapi kecepatan dan target penurunan terlalu tinggi. Terlalu ambisius dari realisasinya. 7-8 persen itu terlalu besar untuk dicapai dalam 5 tahun," katanya pada Republika.co.id baru-baru ini.
Ia menganggap tugas pemerintah ke depannya unutk menurunkan kemiskinan makin sulit dengan makin rendahnya target angka kemiskinan. Menurutnya, terdapat banyak faktor yang perlu diperhatikan pemerintah agar tren angka kemiskinan terus menurun. Diantaranya penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi.
"Karena makin rendah tingkat kemiskinan maka cara menekan makin susah. Susah nekan antara satu digit daripada dua digit ke satu digit. Tidak bisa linear karena beda kecepatannya," ujarnya.
Pendudukan rawan miskin
Ia mengingatkan agar pemerintah tidak hanya memperhatikan poverty rate karena masih banyak penduduk berpenghasilan rendah. Kategori penduduk hampir miskin ini rawan jatuh ke dalam kategori miskin. Khususnya jika ada guncangan ekonomi, tekanan global dan tak kondusifnya kebijakan pemerintah.
Seorang lelaki dari keluarga miskin mengangkut anak dan istrinya dengan gerobak. ilustrasi (foto: Dok Republika)
Dari data Bank Dunia, batas upper middle-income class atau kelas menengah ke atas punya pendapatan sekitar 77 ribu per hari dan kelas menengah ke bawah 44,8 ribu per hari. Kategori kelas menengah ke atas diprediksi turun dari 54,4 persen (2019) jadi 52,3 (2020) dan 50,2 persen (2021). Sedangkan kelas menengah ke bawah diramalkan turun dari 23,1 persen (2019) jadi 21,3 (2020) dan 19,5 persen (2021).
Jika merujuk BPS, garis kemiskinan pada Maret 2019 sebesar Rp 425.250 per kapita per bulan. Komposisinya garis kemiskinan makanan Rp 313.232 dan garis kemiskinan bukan makanan Rp 112.018.
Pada Maret 2019, secara rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,68 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya garis kemiskinan per rumah tangga miskin rata-ratanya Rp 1.990.170 per bulan.
"Yang rentan dan hampir miskin ini banyak walau tidak tercapture dalam tingkat kemiskinan 9,41 persen. Ini harus diperhatikan," ucapnya.
Sementara itu, Sekertaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Bambang Widianto mengakui target angka kemiskinan pemerintah ialah di kisaran 7-8 persen dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Namun ia mengklaim sempat ada revisi target itu menjadi 8-9 persen sekitar 2 tahun lalu dengan melihat ketidakstabilan ekonomi.
"Awalnya diperkirakan ekonomi tumbuh 6-7 persen, tapi hanya 5 persenan. Akhirnya target kemiskinan diturunan dipengaurhi banyak faktor seperti perdagangan internasional, harga komoditi turun. Nah jadi sangat berhubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan," jelasnya.
Tiga strategi
Keluarga Penerima Manfaat (KPM) menunjukkan Kartu Keluarga Sejahtera saat mengikuti sosialisasi dan edukasi bantuan sosial nontunai.
Ia menyebut pemerintah mempertahankan tiga strategi pengentasan kemiskinan sebagaimana dalam RPJMN 2015-2019. Pertama, penciptaan lapangan kerja agar penduduk miskin dapat meningkatkan pendapatannya dan keluar dari zona miskin.
Meski, ia mengakui lapangan kerja yang tersedia saat ini belum memadai guna menampung kelompok masyarakat miskin.
Dari hitungan BPS, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) per Februari 2019 ada di angka 5,01 persen dari tingkat partisipasi angkatan kerja. Angka ini menunjukkan tren positif jika dibandingkan Februari 2018 di angka 5,13 persen.
Kedua, pemerintah berusaha menjaga kestabilan harga dengan mencegah terjadinya inflasi. Ketiga, pemberian bantuan sosial (bansos) dari pemerintah untuk mengurangi pengeluaran masyarakat sehingga bisa digunakan membelanjakan kebutuhan lain. Contohnya program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) oleh Kementerian Sosial yang menyasar masyarakat miskin.
"Penciptaan lapangan kerja yang baik identik dengan meningkatkan produktivitas, makanya penting juga untuk kurangi kemiskinan. Kata kunci hilangkan kemsikinan itu ciptakan lapangan kerja yang bisa dari pembangunan infrastruktur, investasi," paparnya.
Faisal sependapat dengan Bambang bahwa akar kemiskinan mesti diurai lewat penciptaan lapangan kerja. Faisal mengingatkan agar pemerintah tak hanya fokus menyediakan pekerjaan yang hanya bisa diisi oleh penduduk berpendidikan tinggi. Sebab kelompok penduduk miskin karakteristiknya berpendidikan rendah.
Selain itu, ia mengakui dana desa menjadi salah satu tumpuan pemerintah dalam menghapus kemiskinan. Total pemerintah mengalokasikan Rp 70 triliun untuk dana desa di 434 Kabupaten/Kota tahun anggaran 2019. Bahkan pada periode 2019-2024 diproyeksikan anggaran dana desa mencapai Rp 400 triliun.
Hanya saja, ia meminta pemerintah punya strategi pengentasan kemiskinan yang mempertimbangkan kondisi wilayah. Pasalnya, strategi pengentasan kemiskinan di Jawa tak bisa disamakan dengan di luar Jawa dengan mempertimbangkan ketimpangan akses dan infrastruktur.
Ditambah lagi dibutuhkan penguatan pengawasan dana desa agar penyaluran maksimal. Selama ini, dana desa bersifat swadaya sehingga baik penggunaan dan pengawasannya dilakukan oleh masyarakat setempat.
"Nggak bisa dikasih dana saja. Rawan elite capture, dana diberikan terus tanpa evaluasi maka gampang disalahgunakan oleh elit bukan untuk kepentingan masyarakat," tuturnya.