EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo jilid I mencatatkan defisit neraca perdagangan sebesar 1,95 miliar dolar AS sepanjang Januari-September 2019. Defisit salah satunya dipicu besarnya konsumsi migas impor yang nilainya bisa mencapai dua kali lipat nilai ekspor.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani memantau perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah semakin dalam. Hal itu didasari dari trend perdagangan secara kuartalan dan tahunan.
Ia menduga penyebabnya dari sisi perdagangan terutama oleh konsumsi migas yang tetap besar. Padahal konsumsi migas impor tak diimbangi dengan peningkatan produktivitas ekspornya.
Sedangkan di sisi non-migas juga terlihat ada tekanan terhadap produktifitas industri dalam negeri dan peningkatan persaingan di pasar domestik.
Dari data perdagangan Badan Pusat Statistik (BPS) terlihat peningkatan impor non migas terbesar pada barang konsumsi. Menurutnya, hal ini bisa disimpulkan bahwa persaingan di pasar domestik antara produk domestik dan produk impor dalam kategori barang konsumsi menjadi lebih tinggi di kuartal terakhir.
"Tentu saja ini menekan kinerja industri dalam negeri, terbukti dengan pelambatan impor bahan baku/bahan penolong yang menjadi elemen input industri dalam negeri untuk memproduksi barang dan jasa sepanjang kuartal II 2019," katanya pada Republika.co.id, baru-baru ini.
Merujuk data BPS, nilai ekspor Januari-September 2019 mencapai 124,17 miliar dolar AS. Angka ini turun 8 persen dibanding periode sama tahun lalu. Sedangkan impor mencapai 126,12 miliar dolar AS. Atas dasar itu, defisit neraca dagang dalam periode tersebut sebesar 1,95 miliar dolar AS.
Rinciannya, ekspor non migas di angka 114,75 miliar dolar AS dan ekspor migas hanya 9,42 miliar dolar AS. Sedangkan impor migas sebanyak 15,86 miliar dolar AS dan impor non migas 110,253 miliar dolar AS.
Dengan data itu maka neraca migas masih defisit 6,44 miliar dolar AS. Adapun sektor neraca non migas mengalami surplus 4,49 miliar dolar AS.
Selanjutnya dari segi tren industrialisasi, Shinta menduga tidak terlalu terpengaruh karena impor barang modal masih cukup tinggi. Tapi ia khawatir jika produktivitas terus tertekan dan impor produk konsumsi semakin tinggi.
"Dalam kondisi ini, perdagangan Indonesia jelas tidak memberikan kontribusi yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi karena dengan defisit yang bertambah," ujarnya.
Celah pendapatan lain
Ekspor-impor (ilustrasi)
Ia memandang Indonesia harus mencari celah pendapatan lain yang bisa menutupi defisit tersebut guna menjaga stabilitas makro ekonomi nasional. Menurutnya, pelaku usaha tengah memantau bahwa defisit terjadi bukan semata-mata karena efek perlambatan pertumbuhan dan perdagangan dunia saja. Tapi concern utama pelaku usaha nasional ialah tekanan terhadap produktivitas di dalam negeri.
Ia menganggap impor yang tak diperlukan seperti impor produk konsumsi seharusnya bisa diperketat. Tujuannya agar persaingan usaha di dalam negeri untuk produk konsumsi bisa lebih terkontrol. Hal ini sekaligus bisa menekan defisit perdagangan yang tidak diperlukan.
Perdagangan bebas (ilustrasi)
Kemudian, ia menyebut elemen-elemen lain yang menyebabkan penurunan produktivitas industri dalam negeri juga bisa diubah oleh pemerintah. "Khususnya bila kita mau seperti beban-beban terkait tenaga kerja, beban-beban procurement impor, biaya energi, seharusnya bisa diefisiensikan untuk merelaksasi tekanan terhadap produktifitas industri dalam negeri," tuturnya.
Ia optimistis produktivitas nasional tetap bisa bersaing di pasar global meski pun kondisi pasar global sedang tidak sehat. Syaratnya, jika tekanan-tekanan terhadap produktivitas yang berasal dari faktor internal bisa diubah dan dihilangkan dalam waktu dekat.
Indonesia bukan tidak mungkin dapat keluar dari zona kelesuan perdagangan yang saat ini dihadapi semua negara. "Kita lihat Vietnam, Thailand dan India bahkan masih bisa memperoleh keuntungan dari situasi ini dalam perdagangan mereka. Ini berarti masalah yang ada di dalam (negeri) harus dibenahi bukan yang di luar. Jadi kami harap pemerintah bisa cepat tanggap melakukan perbaikan yang konkrit," harapnya.
Perjanjian bilateral
Sementara itu, Menteri Perdagangan yang baru dilantik Agus Suparmanto mengaku mendapat tugas dari Presiden Jokowi untuk meningkatkan ekspor, impor dan perjanjian luar negeri. Ia berkomitmen membuat sejumlah perjanjian bilateral sekaligus meninjau perjanjian mana saja yang selama ini memberi profit.
Ia juga akan memantau produk mana saja yang bisa diekspor untuk ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Sebab menurutnya, produk Indonesia yang potensial di luar negeri masih ada yang kualitas dan kuantitasnya rendah.
"Kami giatkan ke pasar tradisional tapi perlu peningkatan kualitas. Nah, kualitas ini harus kita tingkatkan dengan SDM," ucapnya.
Politisi PKB itu juga berjanji mengatasi aturan yang selama ini menghambat kinerja ekspor. Pemangkasan aturan itu sesuai dengan arahan Jokowi dalam rapat pertama Kabinet Indonesia Maju pada Kamis (24/10).
Ia menekankan seluruh menteri diminta bantuannya guna menuntaskan masalah defisit neraca perdagangan. "Saya akan memangkas peraturan-peraturan yang menghambat ekspor. Jadi kalau menghambat ekspor karena peraturannya panjang atau mereka tidak meningkatkan produksi yang berpotensi diekspor, ini yang akan saya lakukan salah satunya," tegasnya.
Selain itu, Agus berjanji lebih selektif dalam mengambil kebijakan impor. Ia bakal meninjau penentuan waktu yang tepat untuk memutuskan impor. Ia mencontohkan akan berhati-hati saat mengimpor beras agar tak dilakukan saat musim panen.
Kemudian Agus bakal menerapkan subsitusi komoditas impor dengan produk dalam negeri. Mendag sebelumnya, Enggastiarso Lukita sempat dikritik karena pernah mengimpor jagung berdekatan dengan musim panen jagung.
"Untuk impor saya akan selektif dan melihat timingnya bagaimana. Misalnya jangan impor saat musim panen, hancur harga kita kalau begitu. Itu baru satu produk, untuk yang lain prinsipnya sama," jelasnya.
Untuk pembukaan pasar ekspor baru, ia belum bisa berkomentar banyak. Namun ia menyatakan Kemendag tengah menargetkan ratifikasi perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif (CEPA) antara Indonesia dan Australia dapat tuntas tahun ini. Sebab perjanjian yang rampung pada Maret 2019 itu tak kunjung diratifikasi.
Pada dasarnya, kecocokan sudah terjalin antara kedua negara, tapi menurutnya ada sejumlah aturan yang perlu disesuaikan. Salah satu isi CEPA ialah kerjasama bidang investasi dan pendidikan vokasional.
"Mudah-mudahan tercapai tahun ini. Tapi memang negosiasi tidak sesimpel itu," sebutnya.