EKBIS.CO, JAKARTA -- Dunia usaha siap mengawal pemberlakuan percepatan kesepakatan larangan ekspor bijih nikel (ore), Diketahui, pemerintah melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memutuskan percepatan kebijakan itu, dari yang semula diberlakukan pada 1 Januari 2020 menjadi hari ini, Selasa (29/10). Namun, CEO Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Alexander Barus menjelaskan, pihaknya akan menjual suplai bijih nikel dengan mempertimbangkan tiga poin. Yaitu, ketersediaan bijih nikel, harga yang sesuai dan jenis bijih nikel itu sendiri.
"Karena stockpile kami juga terbatas. Penjualannya akan kami sesuaikan dengan ketersediaan stok," ujarnya dalam konferensi pers di Kantor BKPM, Jakarta, Senin (28/10).
Alexander berharap, keputusan yang diambil atas diskusi panjang bersama pebisnis dan pemerintah tersebut akan berbuah positif. Khususnya untuk pengembangan industri pengolahan nikel maupun ke masyarakat melalui penciptaan lapangan kerja.
Alexander mencatat, perusahaannya memiliki empat smelter yang memerlukan sekitar 25 juta metrik ton ore. Empat smelter tersebut adalah smelter PT SMI, PT GCNS, PT ITSS, dan PT ICS.
Senada dengan Alexander, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Prihadi Santoso juga mengatakan kesiapannya mengawal kebijakan ini. Pihaknya berkomitmen mengkomunikasikan pemberlakuan percepatan pelarangan ekspor ore kepada pemilik smelter. Tujuannya, agar pemahaman merata sehingga tidak terjadi kesalahpahaman.
Saat ini, Prihadi menyebutkan, setidaknya ada 14 smelter di seluruh Indonesia yang siap membeli dan mengolah sisa bijih nikel batal ekspor tersebut. Selain itu, menurut Prihadi yang mengutip data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ada lebih dari 20 smelter yang sedang direncanakan dibangun.
Asosiasi juga berkomitmen mengawasi para pelaku usaha nikel. Prihadi memastikan, asosiasi akan bertindak tegas apabila ada pelanggaran.
"Apabila masih ada pengusaha yang nekat ekspor, akan kami tindak dengan mengeluarkan yang bersangkutan dari asosiasi," katanya.
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Mardani H Maming memastikan, kebijakan percepatan menghentikan ekspor ore tidak akan merugikan siapapun. Sebab, barang akan dibeli dengan harga ekspor Cina yang dinilainya dapat menjadi jalan tengah.
Sebelumnya, dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2019 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara, pemerintah memutuskan percepatan pelarangan ekspor bijih nikel dari 2022 menjadi 1 Januari 2020.
Melalui beleid tersebut, pemerintah memberikan waktu transisi kepada pengusaha selama empat bulan, yakni dari September hingga Desember 2019. Jeda waktu diberikan agar pengusaha dapat mulai menyesuaikan kebijakan baru. Tapi, kebijakan ini kemudian dipercepat lagi dua bulan.
Meski begitu, Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menuturkan, pemerintah tidak akan mengeluarkan regulasi baru untuk merevisi Peraturan Menteri ESDM 11/2019. "Kita tidak mengubah aturan yang 1 Januari 2020, tapi atas kesadaran anak bangsa," tuturnya.