EKBIS.CO, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS), Selasa (5/11), merilis data pertumbuhan ekonomi triwulan III 2019 dimana produk domestik bruto Indonesia tumbuh sebesar 5,02 persen year on year (yoy). Pertumbuhan ini melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang tumbuh 5,05 persen, juga melambat dibandingkan kuartal yang sama pada tahun lalu yang tumbuh 5,17 persen.
Founder lembaga riset dan kebijakan ekonomi Sigma Phi Indonesia, Arif Budimanta menilai, meskipun ekonomi masih tumbuh positif tetapi realisasi data pertumbuhan terbaru ini menjadi peringatan bahwa perekonomian nasional tengah menghadapi problem struktural sehingga belum mampu tumbuh cepat seperti yang diinginkan oleh Presiden Joko Widodo yakni di atas tujuh persen. Selain itu, ekonomi nasional diperburuk dengan kondisi ekonomi global yang melambat dan risiko ketidakpastian yang meningkat.
Arif mengatakan Komponen Ekspor Bersih maupun Investasi yang diharapkan tumbuh tinggi dan mengubah struktur PDB justru mengalami perlambatan yang cukup signifikan sehingga belum berhasil mentransformasi struktur PDB Indonesia yang hingga saat ini masih sangat didominasi oleh sektor konsumsi.
Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018 lalu, andil investasi dan ekspor bersih terhadap pertumbuhan telah menurun. Pada tahun lalu pembentukan modal tetap bruto (PMTB) memiliki andil 2,24 persen terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan pada tahun ini hanya sebesar 1,38 persen. Meskipun andil ekspor bersih membaik yakni dari -1,1 persen pada triwulan III 2018 menjadi positif 1,81 persen pada triwulan III 2019, tetapi lebih disebabkan karena impor yang terkontraksi 8,61 persen (yoy) sedangkan ekspor hanya tumbuh 0,02 persen.
Angka lain yang menjadi sorotan Arif adalah pertumbuhan pengeluaran konsumsi pemerintah yang hanya tumbuh 0,98 persen sehingga daya dorongnya terhadap perekonomian nasional hanya sebesar 0,08 persen pada triwulan III 2019 ini. Kecilnya dorongan konsumsi pemerintah ini cukup mengejutkan karena biasanya pada kuartal III dan IV konsumsi pemerintah menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Arif menegaskan, selain mempercepat belanja pemerintah pada kuartal berikutnya, banyak potensi ekonomi nasional yang masih bisa dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan sekaligus mengubah struktur ekonomi menjadi lebih berkualitas dan berkeadilan. Pertama, memanfaatkan tren penurunan suku bunga di tingkat global yang diiringi dengan banjir likuiditas di pasar keuangan global untuk mendorong kemajuan UMKM di Indonesia.
“Hasil simulasi yang kami lakukan jika kita mampu mendorong 10 persen dari pelaku UMKM untuk naik kelas (mikro menjadi kecil, kecil menjadi menengah, dan seterusnya) maka ekonomi kita dapat tumbuh 7,3 persen per tahun” ujar arif.
Kedua, dengan menerapkan Regional growth strategy dimana potensi daerah betul-betul dipetakan dan dikembangkan. Dalam waktu relative singkat pertumbuhan ekonomi dapat terakselerasi sekaligus mengurangi ketimpangan ekonomi antar wilayah. Salah satu indikator apakah arah ekonomi kita sudah mengarah terhadap strategi yang disebutkan, yakni melihat besarnya proporsi kredit terhadap sektor-sektor tersebut.
Sekadar contoh, komposisi pelaku usaha di Indonesia saat ini 99,99 persen merupakan pelaku UMKM dengan kontribusinya terhadap PDB sebesar 60 persen. Tetapi jika kita lihat distribusi pembiayaan perbankan hanya 20 persen saja yang disalurkan terhadap UMKM, sehingga dengan peningkatan akses dan penyaluran pembiayaan perbankan kepada UMKM maka daya dorongnya terhadap pertumbuhan akan sangat besar.
Demikian pula jika ketidaksesuaian penyaluran pembiayaan perbankan terhadap kebutuhan pembangunan didaerah dapat diperbaiki, efeknya terhadap ekonomi akan signifikan. Pemerintahan baru harus memberikan harapan baru sehingga memberikan optimisme kepada pasar, karena pasar mengharapkan “gebrakan” baru dari tim ekonomi Indonesia Maju.
“Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi yang relatif lambat ini harus dijawab dengan kerja Tim Ekonomi kabinet baru yang harus lebih cepat,” tutup Arif dalam siaran persnya.