Warta Ekonomi.co.id, Surakarta
Uber dan Lyft, aplikator taksi daring di Amerika Serikat (AS) harus mulai menunjukkan kelayakan model bisnis mereka. Jika tidak, keduanya akan dihadapkan dengan risiko kebangkrutan.
Laporan keuangan dan harga saham dari Uber dan Lyft di kuartal III menunjukkan, investor publik masih meragukan kondisi finansial dan model bisnis mereka. Keduanya masih merugi di tiap kuartal karena potongan dan promosi yang mereka berikan, apalagi jika terjadi perang harga.
"Baik Uber dan Lyft saat ini ada di tahap do or die, mereka harus segera menunjukkan (kalau) model bisnis mereka layak jika tidak ingin bangkrut," kata reporter sekaligus pemerhati industri finansial global, Rohail Saleem, dikutip dari Wccftech, Selasa (5/11/2019).
Baca Juga: 6 Bulan Pasca-IPO, Begini Nasib Bisnis dan Saham Aplikator Taksi Online Amerika Ini!
Uber sendiri menargetkan untuk memperoleh keuntungan pada akhir 2021, padahal pada Agustus lalu, perusahaan memperkirakan 2019 sebagai puncak investasi sehingga akan ada tren penurunan kerugian.
"Pada kuartal ini, ada indikasi peningkatan profitabilitas segmen rides kami, naik 52 persen yoy," kata CEO Uber, Dara Khosrowshahi. Lini bisnis pengantaran makanannya juga diklaim meningkat meski tak disebutkan rinciannya.
Menilik laporan keuangan Uber pada kuartal III ini, UberEats sebagai salah satu bisnis yang bertumbuh signifikan malah gagal memenuhi target di angka 3,85 miliar dolar AS. Layanan itu hanya mampu mencetak 3,66 miliar dolar AS.
Untuk mengatasi krisis, Uber memutuskan untuk mengurangi karyawan hingga 3 kali putaran, memecat sekitar lima persen pegawainya.