EKBIS.CO, JAKARTA -- PT Amartha Mikro Fintek meluncurkan hasil riset bersama Center for Digital Society Universitas Gajah Mada (CfDS UGM). Riset bertajuk "Peran Amartha dalam Meningkatkan Kesejahteraan Perempuan di Pedesaan".
Hasil riset tersebut menunjukkan, Amartha berhasil meningkatkan kesejahteraan hidup para mitra perempuan pengusaha mikro di pedesaan. Pendanaan dan pendampingan usaha yang dilakukan perusahaan bahkan membuat pendapatan mereka naik hingga tujuh kali lipat, melebihi Upah Minimum Regional (UMR) setempat.
Riset kolaboratif ini dilakukan pada 88 responden mitra Amartha di delapan kota di Jawa. Meliputi Bandung, Bogor, Subang, Sukabumi, Banyumas, Klaten, Kediri, dan Mojokerto, dengan menggabungkan metode survei, wawancara, juga focus group discussion.
Sekretaris Eksekutif CfDS UGM Dewa Ayu Diah Angendari, mengatakan 94 persen mitra Amartha merasa lebih sejahtera setelah bergabung dengan perusahaan financial technology (fintech) peer to peer lending tersebut. Penghasilan mereka naik dari Rp 1 juta sampai Rp 2 juta menjadi Rp 5 juta hingga Rp 10 Juta per bulan.
Wanita yang akrab disapa Diah itu mengungkapkan, salah satu temuan riset juga menyebutkan, sebanyak 76 persen mitra usaha Amartha mengaku dapat membayar uang sekolah anak dari pendapatan usaha mereka. Mereka turut membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat sekitar serta memiliki cadangan dana darurat.
Sebagai informasi, setiap minggunya, Amartha mengadakan pertemuan majelis atau kelompok mitra beranggotakan 10 sampai 25 orang. Tujuannya memberi pendampingan dan pendidikan mengenai tata kelola usaha dan keuangan.
Metode itu dinilai, dapat menjembatani kesenjangan yang muncul dari rendahnya tingkat pendidikan dan akses informasi perempuan di pedesaan. "Mayoritas perempuan di pedesaan memiliki tingkat pendidikan yang rendah serta mengalami keterbatasan dalam mengakses informasi," tutur Diah.
Sebanyak 52,3 persen mitra Amartha merupakan lulusan Sekolah Dasar (SD). Mereka rata-rata berprofesi sebagai pedagang berskala mikro berpenghasilan kurang dari Rp 3 juta per bulan.
Dalam mengakses informasi, para mitra Amartha masih mengandalkan televisi atau orang-orang di sekitar mereka. Sekitar 70 persen perempuan mitra Amartha berusia di atas 40 tahun dan sebanyak 62,5 persen mitra Amartha tidak memiliki telepon genggam yang memungkinkan mereka terhubung dengan internet.
"Jadi sistem pendampingan melalui business partner Amartha membuat pengetahuan para perempuan desa tentang literasi keuangan semakin meningkat. Selain mengumpulkan pembayaran, business partner yang datang di setiap pertemuan mingguan turut membantu para mitra Amartha untuk mengelola pinjaman," jelas Diah.
Ia menambahkan,rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya akses terhadap informasi, membuat para perempuan mitra Amartha lebih memilih fintech peer-to-peer lending dibandingkan jasa keuangan formal lain. Sejumlah pertimbangan yang melatarbelakangi keputusan tersebut di antaranya jarak rumah jauh dengan bank, jumlah pinjaman yang dapat diajukan terlalu besar, serta syarat administrasi lebih kompleks.