EKBIS.CO, PURWOKERTO -- Forum Pimpinan Perguruan Tinggi Perikanan dan Kelautan Indonesia (FP2TPKI) bekerja sama dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) menyelenggarakan Pertemuan ke-2 FP2TPKI Tahun 2019 dengan tema "Penguatan Peran FP2TPKI Membangun Perikanan Inklusif 2020-2024". Pertemuan itu diadakan di Hotel Java Heritage Purwokerto, Jawa Tengah, Senin (11/11).
Forum ke-2 FP2TPKI dibuka secara resmi oleh Rektor Unsoed, Prof Dr Suwarto MS. Kata sambutan diberikan oleh Ketua Penyelenggara, Dr Ir Isdy Sulistyo DEA yang juga dekan FPIK Unsoed, dan Ketua FP2TPKI sekaligus Dekan FPIK IPB, Dr Luky Adrianto. Acara itu dihadiri oleh para dekan, ketua departemen, dan ketua Program Studi (Prodi) sekitar 100 Perguruan Tinggi se-Indonesia, serta sekitar 200 mahasiswa.
Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS didaulat menjadi keyote speaker. Ia menyampaikan makalah berjudul "Transformasi Struktural Menuju Perikanan dan Kelautan Indonesia Yang Berdaya Saing, Mensejahterakan, Inklusif, dan Berkelanjutan Di Era Industri 4.0 dan Perubahan Iklim".
Pakar kelautan dan perikanan itu mengemukakan, sudah 74 tahun merdeka, Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah dengan kapasitaiptek kelas-3. “Alias, belum menjadi negara maju, adil-makmur, dan berdaulat (sebagaimana cita-cita Kemerdekaan RI),” kata Prof Rokhmin.
Pendapatan per kapita Indonesia tahun 2018 sebesar 3.920 dolar AS. “Kategori status kemakmuran negara berdasarkan Pendapatan Kotor Nasional (GNI) per kapita, sebuah negara dikatakan kaya atau berpendapatan tinggi, manakala pendapatan per kapitanya mencapai 12.166 dolar AS lebih,” tutur Rokhmin dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Mantan menteri kelautan dan perikanan Kabinet Gotong Royong itu juga memaparkan dampak perang dagang dan ketidakpastian global terhadap ekonomi kawasan Asia-Pasifik dan Indonesia .
“Pertumbuhan ekonomi kawasan Asia-Pasifik tahun ini (2019) sekitar 5,8% melambat dibandingkan 2018 yang sebesar 6,3%. Perlambatan pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan berlanjut pada 2020 dan 2021 masing-masing 5,7% dan 5,6%,” ujarnya.
Bagaimana dengan Indonesia? “Ppertumbuhan ekonomi RI tahun 2019 menjadi 5%, melambat dibandingkan 2018 yang sebesar 5,2%. Pada 2020 dan 2021 pertumbuhan ekonomi RI dipekirakan sebesar 5,1% dan 5,2%,” urainya.
Secara panjang lebar Rokhmin membahas sektor maritim dunia dan Indonesia, khususnya perikanan tangkap. Sekaligus menegaskan pentingnya menjadikan sektor kelautan dan perikanan Indonesia lebih berdaya saing dan inklusif untuk mensejahterakan rakyat Indonesia, khususnya di era industri 4.0.
Menurutnya, akibat overfishing, destructive fishing, pencemaran, kerusakan fisik ekosistem perairan, dan Global Climate Change; MSY dan produksi perikanan tangkap sejak 1990-an telah mengalami leveling off (stagnan), yakni sekitar 90 juta ton/tahun.
Ia menyebutkan, produksi perikanan budidaya (aquaculture) dunia yang sejak 1950 tidak signifikan, mulai 1990-an produksinya terus meningkat secara fenomenal, dan pada 2016 mencapai 80 juta ton, hanya sedikit lebih rendah dari produksi perikanan tangkap dunia sekitar 90 juta ton. Data sementara menunjukkan produksi perikanan budidaya melampaui produksi perikanan tangkap dunia pada 2018.
Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS (kiri) menyerahkan buku karyanya kepada Rektor Unsoed, Prof Dr Suwarto MS.
Ia mengungkapkan, sejak 2009, Indonesia merupakan produsen perikanan tangkap terbesar kedua di dunia, setelah China. Termasuk rumput laut, Indonesia merupakan produsen perikanan budidaya terbesar kedua di dunia, setelah China. Namun, tidak termasuk rumput laut, Indonesia adalah produsen perikanan budidaya terbesar ketiga di dunia, setelah China dan India.
Dengan demikian, kata ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Kelautan dan Perikanan itu, Indonesia merupakan salah satu negara perikanan utama dan terpenting di dunia. “Dengan potensi perikanan budidaya yang sangat besar, dan hingga kini baru dimanfaatkan sekitar 20% dari total potensinya. Indonesia berpeluang menjadi produsen perikanan terbesar di dunia,” ujar Rokhmin.
Ia menambahkan, sekitar 2,7 juta; 3,8 juta; dan 6,5 juta orang Indonesia bekerja di sub-sektor perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan industri hulu – hilirnya. Artinya sekitar 13 juta orang (10% total angkatan kerja Indonesia) bekerja di sektor kelautan dan perikanan. “Dengan ukuran satu keluarga terdiri dari empat orang, maka 52 juta orang (20% penduduk Indonesia, 267 juta orang) bergantung pada sektor kelautan dan perikanan,” paparnya.
Selain penyerapan tenaga kerja yang besar, kata Rokhmin, sektor perikanan menghasilkan devisa sekitar 4,5 miliar dolar AS/ tahun dan menyumbang sekitar 3 persen terhadap PDB (Produk Domestik Bruto). “Selain itu, sektor kelautan dan perikanan menghasilkan multiplier effects yang besar dan luas. Dan seiring dengan berkurangnya lahan pertanian dan peternakan, maka peran sektor kelautan dan perikanan dalam ketahanan/kedaulatan pangan NKRI akan semakin strategis,” ujarnya.
Ia juga mengemukakan, sejalan dengan berkembangnya bioteknologi, nanoteknologi, Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), Big Data, Cloud Computing, dan teknologi lain di era Industri 4.0, maka perikanan, khususnya perikanan budidaya tidak hanya menghasilkan sumber protein hewani, tetapi juga mineral dan vitamin, farmasi, kosmetik, bioenergi, perhiasan, bahkan sumber karbohidrat dan berbagai produk lainnya.
“Dengan demikian, para nelayan dan pelaut turut secara signifikan menjaga kedaulatan wilayah NKRI dan kemanan di wilayah laut NKRI,” ujar Rokhmin Dahuri.