EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, kebijakan pemerintah mengenakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS) terhadap tiga jenis tekstil dan produk tekstil dengan jangka waktu 200 hari masih terlampau minim dampak. Sebab, masih banyak hal fundamental yang patut dilakukan untuk jangka waktu tersebut.
Salah satu hal fundamental yang disebutkan Tauhid adalah kesiapan industri lokal dalam mengembangkan bahan lokal yang bersifat substitusi impor. "Meski tidak berlaku semua, hal ini penting untuk beberapa jenis bahan baku industri tekstil kita," tuturnya ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (13/11).
Pada Selasa (5/11), pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan tiga regulasi teknis untuk mengaplikasikan BMTPS. Salah satunya, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 161 Tahun 2019 tentang Pengenaan BMTPS Terhadap Impor Produk Benang (Selain Benang Jahit) dari Serat Stapel Sintetik dan Artifisial. Peraturan diberlakukan terhadap enam pos tarif. Bea masuk yang dikenakan adalah sebesar Rp 1.405 per kilogram.
Sementara itu, PMK Nomor 162 Tahun 2019 tentang Pengenaan BMTPS terhadap Impor Produk Kain. Sebanyak 107 pos tarif dikenakan bea masuk dengan variasi harga antara Rp 1.318 per meter hingga Rp 9.521 per meter serta tarif ad valorem berkisar 36,30 persen hingga 67,70 persen.
Terakhir, PMK Nomor 163 Tahun 2019 tentang Pengenaan BMTPS terhadap Impor Produk Tirai (termasuk Gorden), Kerai Dalam, Kelambu Tempat Tidur dan Barang Perabot Lainnya. Bea impor dikenakan terhadap delapan pos tarif dengan nominal sebesar Rp 41.083 per kilogram.
Fundamental lain, berkaitan dengan percepatan penggunaan mesin dan teknologi baru untuk industri tekstil. Pemerintah sepatutnya memberikan keringanan berupa pengurangan biaya masuk atau insentif fiskal terhadap dua komponen itu. Dampaknya, industri dalam negeri akan update dan lebih efisien,
Selain itu, Tauhid menambahkan, fundamental yang perlu diperbaiki adalah masalah penyimpangan proses impor oleh perusahaan pemegang angka pengenal impor (API) yang berdampak pada banjirnya impor. Urgensi ini sejalan dengan temuan dari Kementerian Perdagangan dan Bea Cukai.
"Ini yang saya kira perlu diperbaiki sehingga masa 200 hari benar-benar efektif," ujarnya.
Di sisi lain, Tauhid mengatakan, ada hal lain yang perlu diklarifikasi oleh pemerintah mengenai negara-negara yang dikecualikan dalam PMK 163/2019. Ia menilai, terlalu banyak negara yang dikecualikan, sehingga berpotensi melalui jalur ilegal. Khususnya untuk produk tirai yang dibahas dalam regulasi itu.
Untuk mengantisipasi berbagai potensi ini, Tauhid menganjurkan, pemerintah duduk bersama dengan industri. "Mereka dapat merekomendasikan waktu yang tepat termasuk kesiapan industri dalam kurun waktu tersebut," ucapnya.