Bagaimana peran praktisi public relations (PR) menghadapi disrupsi bertubi-tubi yang menghadang dunia usaha, menjadi tema besar konferensi PR internasional yang berlangsung di Kuala Lumpur baru-baru ini. Dalam konferensi yang diselenggarakan oleh Institute of Public Relations Malaysia (IPRM), ASEAN Public Relations Network (APRN) berbasis di Jakarta, dan Global Alliance berbasis di Switzerland, para pembicara jawara komunikasi dari Thailand, Indonesia, Selandia Baru, Cina, India, Malaysia, dan Aliansi Global, membagikan resepnya berdasarkan pengalaman dan keahliannya dihadapan sekitar 200 praktisi PR, akademisi, serta utusan perwakilan APRN dari berbagai negara.
Jaffri Amin Osman, Direktur Pelaksana World Comm World Communications Network sekaligus pimpinan acara mengatakan, pertemuan kali ini menjadi tonggak bagi praktisi PR dalam menghadapi tantangan global maupun regional yang semakin rumit dan kompleks. Sengaja disebutkan Kuala Lumpur International PR Conference (KLIP 2020) karena persoalan-persoalan komunikasi tahun depan diperkirakan akan menyangkut banyak hal yang saling berkaitan, mulai dari bagaimana membangun kepercayaan, mengelola reputasi, manajemen pemangku kepentingan, komunikasi merek, menghidupkan kembali profesionalisme praktisi PR, komunikasi yang efektif, komunikasi dengan milenial, PR menghadapi berita-berita palsu, memanfaatkan Kecerdasan Buatan (AI), hingga bagaimana mengelola transformasi digital.
Oleh karena itu, Jaffri menegaskan, konferensi harus dapat memberikan kesadaran baru di kalangan praktisi PR bahwa mereka sedang menghadapi tantangan industri di masa depan yang tidak mudah. Ia pun menawarkan pendekatan "ANGEL" dan 'SATAN " untuk memahami perubahan hubungan dengan pemangku kepentingan. ANGEL singkatan dari Advertising, New Media, Generations, Engagement and Love, sedangkan SATAN singkatan dari Say, Always, Together, Awesome, dan Naturally.
Bagi Prita Kemal Gani, President of ASEAN PR Network (APRN), konferensi ini merupakan kesempatan yang sangat baik untuk bergandengan tangan mengintegrasikan komunikator dan praktisi PR dalam semangat "Saya ASEAN, Kita ASEAN" . Dalam pandangannya, semangat Asean dapat menjadi kendaraan membangun hubungan sesama masyarakat Asean agar menjadi lebih baik. “Effective ASEAN communication for better business results,” yakinnya optimistis.
Memang harus diakui, lansekap industri komunikasi baik di dalam negeri maupun di kawasan Asean dan bahkan di seluruh dunia sedang bergoncang hebat. Internet dan media sosial telah memberikan perubahan signifikan terhadap perkembangan reputasi merek dan organisasi. Situasi inilah yang ditekankan Direktur Pelaksana FTI Consulting, Liz Kamaruddin, agar para praktisi PR memandang persoalan lebih jernih dan bijaksana. Liz yang lebih dari 20 tahun malang melintang menjalankan praktek PR berharap agar praktisi PR memahami perbedaan persepsi dan cara pandang masyarakat lintas generasi. “Zaman sudah berubah. Banyak faktor dan fenomena ketidakpastian, seperti berita bohong, kepercayaan yang rusak, kebenaran tidak lagi penting lagi, tapi gambar dan penampilan lebih penting, dan sebagainya, yang harus menjadi pertimbangan komunikasi,” papar Liz sehingga praktisi PR harus bergerak cerdas dan cermat menghadapi ancaman komunikasi membahayakan masyarakat.
Menurut Liz, betapapun perbedaan cara pandang harus disadari dari awal. Bahwa jika generasi sebelumnya akrab dengan Teknologi Informasi, maka generasi milenium dan generasi Z adalah pelopor terkemuka untuk Internet of Things (IOT). Oleh karena itu, katanya, praktisi PR harus dapat bekerja dengan generasi yang berbeda dan mengenali perbedaannya. “Jika praktisi PR tidak bisa mengimbangi milenial, mustahil akan bertahan hidup,” ungkapnya menekankan betapa pentingnya menjalankan kaidah-kaidah PR yang benar.
Secara lugas Shahreen Kamaluddin, praktisi PR senior dari IPRM menyebutkan para profesional PR harus seperti elang ketika menghadapi pekerjaan. Artinya, seorang profesional PR harus jernih memaksimalkan mata dan telinga bagi organisasi, selalu memindai lingkungan sekeliling untuk mengetahui masalah dan isu-isu yang memengaruhi merek dan reputasi perusahaan, serta menggunakan penelitian dan analisis data untuk merekomendasikan tindakan terbaik manajemen untuk mengatasi masalah demi kepentingan orang banyak.
“Sertakan perspektif PR dalam keputusan dan kebijakan manajemen untuk menghadapi anomali dan kondisi yang semakin kompleks, “ tandas Shahreen menuntut praktisi PR harus tahan banting. “Praktisi PR harus siap untuk terus belajar meningkatkan perannya, memiliki kapasitas meningkatkan fungsi mereka untuk mengambil pada peran strategis dan berada di tim manajemen dalam sinergi dengan fungsi-fungsi lain dalam organisasi seperti penjualan, pemasaran, SDM, hukum, manajemen risiko, keuangan dan penelitian,” lanjutnya. Jika semua itu dijalankan, Shahreen yakin profesi PR akan selalu relevan dengan zaman karena misi PR berbicara kepada setiap pikiran, hati, dan jiwa. “Yang penting, tetap setia pada prinsip-prinsip profesi PR dan selalu teguh pendirian agar mendapatkan tempat yang mendalam di hati masyarakat,” tegas dia lagi.
Dengan kata lain, praktisi PR harus merangkul perubahan dan menerima tantangan. Nuttaboon Pornrattanacharoen, perwakilan dari Asosiasi Hubungan Masyarakat Thailand menandaskan, "Kemajuan teknologi memungkinkan praktisi PR bekerja tanpa interaksi dengan manusia," katanya. Hal itu terjadi karena hadirnya Kecerdasan Buatan (AI). Menurut Herman Gaule, Dekan Akademik The School of Communications and Reputation, India, hadirnya AI dapat membuat konten ke-pi-ar-an menjadi sangat menarik, lebih atraktif, lebih cepat, terutama dalam memberi dampak pada masyarakat pemangku kepentingan.
Terlepas dari gonjang-ganjing komunikasi yang terjadi, Sekjen Kementerian Komunikasi dan Multimedia Malaysia Dato 'Suriani Dato' Ahmad, dalam keynote speech-nya mengingatkan, siapapun semua praktisi komunikasi dan PR agar tidak mengingkari atau melawan perubahan. “Justru rangkul disrupsi itu. Ambil inspirasi darinya, lalu berinovasilah dan jadilah game changer. Kita semua harus bergulat dengan ide disrupsi,” katanya.
Berbicara tentang topik “Embracing Disruption: Empowering All with Local and Global Information,” Suriani mengajarkan bagaimana agar kita justru dapat memanfaatkan tantangan ini sebagai sarana berkembang lebih baik. “Today’s PR challenges are about Face Off or confrontations and disruptions and how we embrace disruptions,” tegasnya.
Suriani mengatakan teknologi modern telah memungkinkan semua warga negara menjadi jurnalis. Hal itu harus ‘dimanfaatkan’ untuk membawa pertumbuhan baru. “Internet dapat menjadi ruang untuk musyawarah. Masukan dari warga negara diterjemahkan oleh agensi pemerintah melalui berbagai platform," tandasnya bahwa hal itu membutuhkan peran praktisi PR untuk menjembatani komunikasi sebelum kebijakan dan aturan diterapkan Pemerintah.