EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menganjurkan pemerintah untuk mengajukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2020. Sebab, ada beberapa indikator ekonomi makro yang hampir dipastikan meleset. Di antaranya pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 5,3 persen, kemungkinan hanya mencapai 4,8 persen.
Tauhid menilai, angka 5,3 persen pada 2020 merupakan target yang terlampau tinggi. Penerimaan pajak akan sulit menjangkau prediksi yang cenderung tinggi. Di sisi lain, nilai belanja juga meningkat yang sulit diiringi dengan penghematan.
"Otomatis, terjadi shortfall semakin jauh dan defisit semakin besar," ujarnya ketika ditemui usai diskusi di Jakarta, Selasa (26/11).
Apabila dibiarkan dengan target semula, Tauhid memprediksi, defisit APBN tahun depan akan melebihi dua persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Secara nominal, setidaknya defisit dapat menyentuh Rp 320 triliun. Dengan kondisi defisit yang melebar, pembiayaan utang pun berpotensi semakin besar.
Tauhid menjelaskan, perubahan signifikan tidak akan dirasakan sekalipun pemerintah menghemat belanja. Jika dihemat, ekspansi fiskal berpotensi terhambat yang justru dapat berdampak negatif terhadap dunia usaha. Oleh karena itu, ia menekankan, sebaiknya pemerintah memang realistis dengan melakukan revisi terhadap APBN 2020. Khususnya dari segi pertumbuhan ekonomi.
Tauhid mengembalikan keputusan tingkat pertumbuhan ekonomi kepada pemerintah. Indef sendiri memprediksikan, pertumbuhan ekonomi tahun depan hanya tumbuh 4,8 persen.
"Mungkin saja bisa lebih tinggi dari itu karena pemerintah kan tujuannya membangun semangat optimisme," katanya.
Proyeksi Indef terhadap 4,8 persen bukan tanpa sebab. Tauhid mengatakan, perlambatan ekonomi global yang masih akan terjadi sampai tahun depan menjadi alasan utama pesimisme itu. Beberapa lembaga internasional yang biasanya optimistis pertumbuhan ekonomi global bisa mencapai di atas tiga persen, kini juga pesimistis.
Di sisi lain, negara mitra dagang Indonesia seperti Cina dan Jepang turut mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi pada 2020. Kondisi ini menyebabkan permintaan barang dari Indonesia ikut turun, sehingga sumbangan perdagangan Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi pun turun.
Alasan berikutnya, perlambatan investasi. Tauhid menjelaskan, meski secara nominal meningkat, pertumbuhan investasi masih lemah. Khususnya Penanaman Modal Asing (PMA) yang masih di bawah target. Apalagi, investasi yang masuk didominasi ke sektor tersier dan padat modal, sehingga dampaknya terhadap penciptaan lapangan kerja dan peningkatan nilai tambah di industri lokal menjadi tidak signifikan.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir menilai, target pertumbuhan ekonomi 2020 masih akan sesuai target yakni 5,3 persen. Upaya prioritas yang dilakukan pemerintah adalah mendorong konsumsi yang menyumbang lebih dari 50 persen terhadap PDB Indonesia.
Iskandar mengatakan, salah satu langkah yang dilakukan adalah mempercepat penyaluran bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). "Jadi, sebelum daya beli mereka turun, kita kasih (stimulus) duluan di depan. Sebenarnya, masalah timing saja, penyalurannya menjadi lebih cepat," katanya.
Percepatan juga dilakukan terhadap belanja pemerintah. Penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dipercepat, sehingga kementerian/ lembaga dapat segera melaksanakan tender. Dengan begitu, Iskandar mengatakan, pengeluaran pemerintah bisa dilaksanakan per 1 Januari 2020 dan memberikan dampak lebih cepat kepada konsumsi masyarakat.