EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, pemerintah akan menyerahkan draft aturan perpajakan baru dengan skema omnibus law kepada DPR pada pertengahan Desember. Diharapkan, pada Januari, pembahasan antara pihak legislatif dengan eksekutif sudah dapat berjalan.
Sri menjelaskan, timeline yang diprediksi pemerintah adalah rancangan akhir dapat rampung pada Desember untuk kemudian disampaikan ke DPR sebelum masa reses, yaitu 18 Desember. "Januari sudah bisa dibahas dan dikomunikasikan dengan DPR," ujarnya dalam acara CEO Forum di Jakarta, Kamis (28/11).
Saat ini, Sri menjelaskan, draf omnibus law sektor perpajakan sudah diserahkan kepada Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Para jajaran menteri di Kabinet Indonesia Maju juga diketahui sudah menerimanya.
Sri mengatakan, proses penggarapan yang cepat dari omnibus law ini menunjukkan bahwa transformasi perpajakan merupakan prioritas pemerintah. Di sisi lain, upaya ini untuk mengantisipasi perubahan, terutama digital ekonomi dan meningkatkan daya saing Indonesia di tengah rezim perpajakan global maupun regional.
Setidaknya ada enam area yang dibahas dalam omnibus law bidang perpajakan. Pertama, menurunkan besaran Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 25 persen ke 20 persen yang dilakukan secara bertahap.
"Pertama dari 25 persen ke 22 persen pada 2021 dan kemudian menjadi 20 persen pada 2023," katanya.
Proses yang bertahap itu bukan tanpa alasan. Sri menjelaskan, pemerintah harus menjaga dampak fiskal dari penurunan PPh Badan. Pasalnya, kebijakan tersebut pastinya akan menurunkan pendapatan perpajakan secara signifikan.
Apabila perusahaan sudah masuk bursa, Sri menambahkan, mereka akan mendapatkan diskon pajak tiga persen selama lima tahun. Tujuannya, meningkatkan pendalaman bursa dan mengembangkan pasar modal Indonesia.
"Jadi, kalau PPh perusahaan Anda 20 persen, Anda masih bisa dapat tax rate 17 persen selama lima tahun," ujarnya.
Kemudian, pemerintah akan menghapuskan pajak dividen. Poin berikutnya, mengenai pajak teritorial dan mengurangi bunga dari penalti pajak.
Tidak kalah penting, Sri menjelaskan, omnibus law juga akan membahas perusahaan digital. Dalam rezim internasional, Badan Usaha Tetap (BUT) selama ini identik dengan kehadiran fisik. Nantinya, definisi akan bergeser menjadi significant economic presence.
Poin keenam, memasukkan seluruh insentif pajak menjadi satu bagian. Sebab, selama ini, tax holiday dan tax allowance tidak diturunkan dari undang-undang pajak, melainkan undang-undang investasi. "Jadi, banyak yang scattered," katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, proses pembahasan omnibus law masih akan menghadapi hambatan besar. Oleh karena itu, ia pesimistis regulasi ini dapat rampung dalam kurun waktu satu tahun mendatang.
Tantangan pertama, Tauhid menambahkan, adalah secara kelembagaan. Ia memberikan contoh, ketika proses investasi ditarik ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) secara penuh, mereka juga harus memahami konsep tata ruang yang selama ini ditangani Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR).
“Ini harus diatur,” katanya ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis.
Tantangan kedua, Tauhid mengatakan, kekosongan hukum ketika ada pasal-pasal yang ‘ditarik’. Dampaknya, pemerintah harus melakukan sinkronisasi undang-undang. Sebab, apabila dibiarkan kosong tanpa direvisi, akan terjadi missing link.
Ia memberikan contoh poin pajak dan retribusi daerah. Ketika pemerintah memasukkan poin tersebut ke dalam undang baru melalui omnibus law, otomatis Undang-Undang Pajak dan Retribusi Daerah juga harus direvisi.