Warta Ekonomi.co.id, Jakarta -- Perusahaan ride-hailing yang didirikan di Amerika Serikat (AS), Uber terus menunjukkan kemerosotan. Untuk itu, Uber sebaiknya segera memenuhi janjinya untuk mendapatkan keuntungan. Jika tidak, kebangkrutan akan menyambutnya.
Uber di kuartal III 2019 menderita kerugian US$1,16 miliar setelah di kuartal sebelumnya tekor US$5,2 miliar. Tahun silam, Uber juga rugi US$986 juta.
Dengan demikian, harga saham Uber pun turun 5,5%. Tak heran apabila para karyawan Uber berbondong-bondong menjual saham milik mereka.
Baca Juga: Fokus Bisnis Dapur, Bos Uber Jual Saham Rp10 Triliun
Baca Juga: Kalau Enggak Bisa Luluhkan Hati Investor Publik, Bisnis Uber dan Lyft di Ujung Tanduk!
"Baik Uber dan Lyft pada saat ini berada dalam tahap do or die, mereka harus membuktikan kelayakan dari model bisnisnya atau terkena risiko kepunahan," sebut Rohail Saleem, kolumnis di Wccftech.
Ia menyebut kedua pemain itu sampai saat ini masih merugi untuk setiap layanan pengantaran yang mereka sediakan. Belum lagi jika terjadi perang harga.
Salah satu upaya efisiensi yang dilakukan adalah pengurangan karyawan. Pada kuartal silam, lebih dari 1.000 karyawan Uber kena PHK atau sekitar 2% dari seluruh pegawainya.