EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menggelar pertemuan dengan Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Esam Abid Althagafi di Kementerian Pertanian, Kamis (12/12). Pada pertemuan tersebut, kedua belah pihak membuka peluang kerja sama di bidang pertanian, dimana Indonesia diberi pintu untuk mengekspor beras.
Esam Abid Althagafi mengatakan, pihaknya telah mengungkan Kementerian Pertanian untuk datang ke Arab Saudi guna mematangkan peningkatan kerja sama pertanian. Kedubes Arab Saudi, kata dia, juga telah memberikan usulan draf memorandum of understanding (MoU) kepada Kementan untuk negosiasi lanjutan.
"MoU tentu mencakup produk pertanian dan yang berkaitan dengan pertanian. Juga mengenai pelatihan petani di kedua negara dan Indonesia juga bisa mengekspor mesin-mesin pertanian yang dibutuhkan Arab Saudi," kata Esam dalam Konferensi Pers di Kementan.
Sementara itu, Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Perdagangan dan Hubungan Internasional, Banun Harpini mengatakan, produk pertanian yang dibahas dalam pertemuan yakni peluang Indonesia untuk mengekspor beras jenis premium ke Arab Saudi mulai tahun 2020.
Arab Saudi, kata Banun, saat ini membuka keran importasi beras untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Setidaknya, untuk para jamaah haji dan umrah. Jamaah haji dan umrah asal Indonesia saja untuk tahun ini telah mencapai 2,4 juta orang. Belum lagi keberadaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang jumlahnya mencapai 2 juta orang.
"Dubes Saudi mengatakan, kebutuhan beras di sana masih impor dari Thailand, India, dan Amerika Serikat. Akhirnya kami tawarkan beras dari Indonesia untuk ikut mengisi kebutuhan," kata Banun.
Menurut dia, ekspor beras juga telah menjadi arahan dari Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo. Tahun depan, Kementan menargetkan untuk bisa mengekspor beras sebanyak 500 ribu ton. Di mana, kawasan Timur Tengah menjadi salah satu sasaran pemerintah untuk pasar ekspor beras. Minimal, kata Banun, ekspor beras tahun depan bisa terealisasi 50 persen dari target tersebut.
Lebih lanjut, kewajiban sertifikat halal bagi produk pertanian Indonesia juga tak lagi menjadi masalah. Pemerintah saat ini telah memiliki lembaga khusus yang menjamin sertifikat halal dan telah dipercaya oleh negara-negara anggota OKI.
Ia menambahkan, standar Sanitary dan Phityosanitary (SPS) untuk produk pangan di Arab Saudi maupun negara-negara timur tengah lainnya juga tak terlalu ketat. Karena itu, kerja sama dagang di bidang produk pertanian dengan Arab Saudi diyakini memberikan keuntungan bagi kedua negara.
"Ini peluang yang baik bagi Indnesia dan kita berharap cepat terealisasi. Ini sangat prioritas," ujarnya.
Selain beras, Banun menuturkan, Arab Saudi terbuka untuk produk olahan unggas serta produk hortikultura seperti buah-buahan dan perkebunan terutama kopi. Semua produk-produk itu tentunya khusus produk yang telah memiliki sertifikasi halal yang bisa dipertanggungjawabkan di Arab Saudi.
Sebagai informasi, kurun waktu Januari-September 2019, neraca perdagangan Indonesia saat ini surplus atas Arab Saudi sebesar 235,5 juta dolar AS. Komoditas perkebunan menjadi yang terbesar yakni mencapai 244 juta dolar AS. Selanjutnya diikuti ekspor tanaman pangan mencapai 2,8 juta dolar AS, ekspor hortikultura 11,2 juta dolar AS, serta ekspor produk peternakan 221 ribu dolar AS.
Adapun, impor produk pertanian yang terbesar dari Arab Saudi yakni hortikultura 2,29 juta dolar AS, kemudian peternakan 1,75 juta dolar AS, perkebunan 754,8 ribu dolar AS, dan tanaman pangan yang hanya 78 dolar AS.
Dengan begitu, hanya komoditas peternakan yang mengalami defisit perdagangan sekitar 1,5 juta dolar AS sedangkan tiga komoditas lainnya mengalami surplus.
Banun menambahkan, selain ke Arab Saudi, ada tiga negara lain yang siap dijajaki ekspor beras, yakni Kazakhstan, Bangladesh, serta Sri Lanka. Banun mengatakan, Kazakhstan menjadi incaran pemerintah karena saat ini memegang kursi pimpinan negara-negara OKI.