Jumat 13 Dec 2019 19:07 WIB

Perusahaan Tambang Minta Kebijakan DMO Dikaji

APBI menilai Sanksi denda dalam kebijakan DMO dinilai tidak efektif

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Aktivitas bongkar muat batubara di area pertambangan.APBI menilai Sanksi denda dalam kebijakan DMO dinilai tidak efektif
Foto: Antara/Prasetyo Utomo
Aktivitas bongkar muat batubara di area pertambangan.APBI menilai Sanksi denda dalam kebijakan DMO dinilai tidak efektif

EKBIS.CO, JAKARTA -- Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menilai revisi sanksi kewajiban alokasi batu bara dalam negeri (domestic market obligation/DMO) harus dikaji secara menyeluruh. Penerapan denda sebagai bentuk sanksi sedang dikaji oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Sanksi DMO sejak Maret diterapkan berupa pengurangan produksi. Namun sanksi tersebut tidak efektif lantaran menimbulkan efek berganda.

Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengatakan sanksi denda dinilai kurang efektif. Pasalnya perusahaan akan memilih ekspor bila masih menghasilkan keuntungan setelah menbayar besaran denda tersebut.

"Nanti perusahaan hitung-hitungan lebih baik bayar denda daripada ini, padahal urgensinya kan memastikan pasokan dalam negeri. itu tricky juga, itu yang harus dilihat," kata Hendra di Jakarta, Jumat (13/12).

Hendra menuturkan kewajiban DMO sebenarnya sudah berjalan sejak lama. Namun sejak 2018 kemarin diprioritaskan untuk pembangkit listrik. Padahal 80 persen pasokan batu bara ke pembangkit sudah dikuasai oleh pemain besar. Artiannya tersisa 20 persen lagi peluang yang diperebutkan oleh pelaku batu bara lainnya.

Dalam implementasi di 2018 kemarin, pelaku usaha yang tidak kebagian kontrak dengan pembangkit kemudian melakukan transfer kuota guna memenuhi ketentuan DMO. Namun ada juga perusahaan yang sama sekali tidak memasok ke pembangkit listrik. Alhasil perusahaan yang DMO nol terkena sanksi pengurangan produksi.

Menurutnya pemerintah pun harus mencari solusi mengenai penerapan DMO pembangkit listrik. Bukan semata-mata menerapkan sanksi. Selain itu harga khusus batu bara bagi pembangkit pun sebaiknya direvisi. Patokan 70 dolar AS per ton yang selama ini berlaku dinilai kurang adil bagi pelaku usaha.

Ketika harga melambung, pelaku usaha tidak menikmati lonjakan laba. Sementara ketika harga rendah, pelaku batu bara menjualnya sesuai harga pasar. Oleh sebab itu dia menyarankan lebih dahulu dibahas mengenai harga patokan tersebut.

"Sudah 2 tahun kami tanda kutip berkorban buat ini, jadi saatnya lah pemerintah juga memperhatikan kelangsungan batu bara," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement