Jumat 20 Dec 2019 19:26 WIB

HNSI Jatim Sarankan Pencabutan 3 Kebijakan Kelautan

3 Kebijakan kelautan tersebut dinilai merugikan nelayan kecil.

Red: Nashih Nashrullah
Tim BKIPM Semarang melepasliarkan 38.900 ekor benih lobster di perairan pulau Cemara Besar, Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Senin (20/5).
Foto: dok. Istimewa
Tim BKIPM Semarang melepasliarkan 38.900 ekor benih lobster di perairan pulau Cemara Besar, Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Senin (20/5).

EKBIS.CO, JAKARTA – Dewan Penasihat Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Timur, Bambang Haryo, meminta Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo tidak ragu mencabut sejumlah kebijakan menteri sebelumnya yang dinilai tidak tepat dan justru menyengsarakan nelayan di dalam negeri.  

Menurut Bambang, salah satu kebijakan keliru adalah pelarangan penangkapan benur lobster melalui Permen KP No. 56 Tahun 2016.

Baca Juga

“Larangan penangkapan benur lobster ini mengakibatkan ribuan nelayan kehilangan mata pencarian dan negara kehilangan potensi ekonomi, termasuk dari ekspor, hingga ratusan triliun rupiah setiap tahun,” ungkapnya, Jumat (20/12).  

Pelarangan itu, tutur Bambang Haryo, justru memicu penyelundupkan benur lobster sehingga merugikan negara. Di sisi lain, nelayan kehilangan mata pencarian dari penangkapan benur dan budidaya lobster.  

Dia mengatakan Indonesia merupakan sumber lobster terbesar di dunia meskipun biota laut bernilai tinggi ini sebenarnya endemik dari Pulau Christmas, Australia. 

Potensi benur lobster Indonesia diperkirakan mencapai 2-3 miliar per tahun, bahkan di Lombok Tengah saja potensinya mencapai 300 juta ekor per tahun.   

Data KKP mengungkapkan, terdapat 20 lokasi potensial sumber lobster di seluruh Indonesia. “Begitu melimpah benur lobster, nelayan kita bisa memanen selama 10 bulan sepanjang tahun,” papar Bambang Haryo.  

Sebagai perbandingan, potensi benur lobster di Vietnam hanya sekitar 2-3 juta ekor per tahun dan nelayan hanya bisa memanen 1-2 bulan saja. 

Anehnya sejak pelarangan, ekspor lobster Vietnam justru melonjak padahal negara itu sangat bergantung dari impor benur dari Indonesia.   

“Potensi ekonomi benur lobster di Indonesia mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun apabila per ekornya dihargai sekitar Rp 50 ribu. Kalau benur ini dibudidayakan hingga ukuran 500 gram harganya bisa mencapai Rp 500 ribu sehingga potensi ekonominya jauh lebih besar lagi,” jelas Bambang Haryo.  

Dia mengatakan, benur lobster justru harus segera ditangkap  nelayan sebab jika tidak akan habis dimakan oleh predatornya, seperti ikan kakap, kerapu, dan ikan karang. 

Berdasarkan penelitian Prof Dr Clive Jones, peluang hidup benur lobster hanya 0,01 persen atau hanya 1 dari 10 ribu lobster yang mampu bertahan hidup di alam liar.  

photo
Petugas kepolisian menunjukkan barang bukti Benur atau Baby Lobster saat gelar perkara kasus penyelundupan dan penjualan ilegal di Mapolda Jabar, Bandung, Jawa Barat, Senin (19/3).

Ironisnya, benur lobster dilarang dan membolehkan penangkapan lobster ukuran besar, padahal lobster seukuran itu merupakan potensi indukan dan pejantan. “Lobster ukuran itu sudah mampu menyesuaikan diri dengan habitat di perairan Indonesia, seharusnya tidak ditangkap agar bisa berkembang biak secara alami,” ujarnya.   

Bambang Haryo menilai Permen KP No. 56/2016 tentang Larangan Penangkapan Lobster, Kepiting dan Rajungan merupakan kebijakan disclaimer atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebab pelarangan tiga komoditas yang berbeda menggunakan aturan teknis yang sama. Ini merugikan komoditas selain lobster karena batasan teknisnya berbeda.

“Tidak heran kebijakan menteri Susi menyebabkan KKP mendapat penilaian disclaimer audit BPK selama tiga tahun berturut-turut,” kata anggota Komisi V DPR RI periode 2014-2019.

Kebijakan lain yang dinilai keliru adalah Permen KP No. 2/2015 tentang Larangan Cantrang. Kebijakan ini juga membuat Indonesia kehilangan potensi ekonomi ratusan triliunan rupiah akibat produksi ikan rucah untuk pakan lobster dan ikan kerapu merosot tajam.  

“Di Indonesia sudah ada pembudidaya yang hebat, seperti di Pandeglang dan Lombok Tengah, tetapi mereka kesulitan memperoleh pakan lobster yaitu ikan rucah yang selama ini ditangkap menggunakan cantrang,” ungkapnya.   

Akibat pelarangan cantrang, Indonesia terpaksa impor ikan rucah dari Chile hingga 200 ribu ton per tahun, padahal ikan rucah di Indonesia melimpah. Kelangkaan pakan ikan ini menyebabkan harganya melambung, sehingga banyak industri perikanan mati, tinggal kurang dari 50 persen dari sebelumnya sekitar 100 perusahaan. 

Tidak hanya itu, ungkap Bambang Haryo, kebijakan menteri Susi melarang kapal ikan di atas 300 GT semakin menyengsarakan nelayan dan industri perikanan. Pelarangan kapal ini membuat nelayan tidak bisa mengeksplorasi Zona Ekonomi Eksklusif dan ikan laut dalam, yang potensinya triliunan rupiah.  

Kondisi ini justru dimanfaatkan  kapal ikan asing, padahal Indonesia tempat melintas ikan laut dalam yang bermigrasi perairan Asia Timur/Pasifik ke Australia dan sebaliknya, seperti tuna sirip biru dan sirip kuning. 

Kebijakan ini juga membuat kapal ukuran besar berpendingin tidak dapat beroperasi untuk menampung hasil tangkapan nelayan di tengah laut. Akibatnya, hasil tangkapan nelayan membusuk dan tidak dapat diserap industri pengolahan ikan. “Banyak ikan tangkapan nelayan dibuang ke luat karena membusuk, seperti terjadi di Lamongan dan Tuban, Jawa Timur.

Dalam waktu yang sama, ungkap Bambang Haryo, ribuan kapal di atas 30 GT pada masa menteri Susi sulit mendapatkan izin sehingga nelayan di seluruh Indonesia kehilangan mata pencarian. Sebagai contoh, sampai dengan saat ini, ada 250 kapal di Indramayu yang belum mendapatkan izin dari KKP.   

“Ini melanggar instruksi Presiden Jokowi yang mewajibkan perizinan harus selesai tiga jam. Kita dorong Menteri Edhy supaya segera selesaikan masalah perizinan,” kata dia.    

 

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement