Selasa 31 Dec 2019 04:30 WIB

Ekonom: Ekonomi RI Stabil di Tingkat yang Rendah

Pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga kuartal III di kisaran 5 persen

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Pertumbuhan ekonomi (ilustrasi)
Foto: Republika.co.id
Pertumbuhan ekonomi (ilustrasi)

EKBIS.CO, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa situasi perkonomian Indonesia sepanjang tahun 2019 cukup stabil di tengah guncangan ekonomi global. Indonesia, kata Presiden, patut bersyukur lantaran stabilnya ekonomi nasional bisa dipertahankan di tengah banyaknya negara yang mengalami resesi ekonomi.

Ekonom Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Latif Adam mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang relatif stabil hingga akhir tahun ini. Meskipun, realisasi pertumbuhan ekonomi hingga kuartal III di kisaran 5 persen masih di bawah target pemerintah sebesar 5,2 persen.

Baca Juga

"Kita memang stabil tetapi pada tingkatan yang rendah. Transformasi struktur perekonomian masih belum terjadi," kata Latif saat dihubungi Republika.co.id, Senin (30/12).

Latif mengemukakan, pertumbuhan ekonomi tahun ini relatif didominasi oleh konsumsi masyarakat domestik. Data BPS menyebut, konsumsi rumah tangga pada kuartal III tumbuh hingga 5,01 persen. Sementara investasi yang diharapkan pemerintah bisa menggenjor perekonomian hanya tumbuh 4,21 persen.

"Konsumsi menjadi sektor yang paling dominan. Padahal, pemerintah ingin merubah struktur ekonomi kita menjadi production base. Basisnya produksi bukan hanya konsumsi," kata dia.

Karena itu, Latif menilai stabilnya perekonomian saat ini terjadi di bawah potensi pertumbuhan sebenarnya yang bisa dicapai Indonesia. Ia menyebut, jika struktur ekonomi bisa berubah ke basis produksi yang ditopang oleh aliran investasi sektor riil, setidaknya ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5,5 persen hingga 6 persen.

Indonesia, kata Latif, harus segera melakukan transformasi ekonomi secara besar-besaran agar tak terjebak dalam middle income trap. Pertumbuhan di tahun depan harus lebih dinamis dan lebih dari angka yang dicapai saat ini.

Masih soal investasi, Latif mengatakan bahwa investasi di sektor riil di tahun depan harus yang benar-benar memiliki efek berganda. Disebutnya, studi-studi yang dilakukan saat ini terkait dampak dari pembangunan infrastruktur belum begitu dirasakan manfaatnya oleh daerah meskipun menelan anggaran negara yang besar.

Di satu sisi, pemerintah telah memberikan berbagai macam insentif perpajakan, baik tax holiday, tax allowance, hingga super deduction tax demi mendongkrak investasi riil. Namun, nyatanya kontribusi investasi itu terhadap pertumbuhan belum optimal.

"Insentif perpajakan yang diberikan naik dari tahun ke tahun. Tapi investasi ya segitu-segitu aja. Berarti ada yang salah," katanya.

Menurut dia, kekurangan yang dihadapi Indonesia saat ini adalah ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas dari sisi produktivitas. Upaya perbaikan tenaga kerja juga terbentur dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan saat ini. Oleh sebab itu, kata Latif, rencana pemerintah untuk melakukan omnibus law untuk ketenagakerjan boleh menjadi solusi yang tepat.

Hanya saja, masih menjadi pertanyaan apakah kebijakan itu bisa diimplementasikan hingga tingkat daerah dan bisa diikuti semua jajaran pemerintah tingkat bawah. Belum lagi, dukungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan omnibus law yang belum pasti.

"Kita setuju ide omnibus law, tapi kemudian kita juga tidak percaya diri bagaimana proses di DPR bisa lolos dan bagaimana implementasinya," ujar Latif.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement