EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Abra PG Talattov menuturkan, sosialisasi mengenai kewajiban sertifikasi halal yang masih minim kemungkinan didasari beberapa faktor. Salah satunya, belum ada kejelasan mengenai penetapan biaya atau tarif sertifikasi halal yang sudah berpindah kewenangan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Abra menjelaskan, sampai saat ini, pemerintah masih ‘menggantungkan’ penetapan tarif sertifikasi halal. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang bertanggung jawab atas penetapan biaya pun belum mengeluarkan regulasi. "Jadi, memang belum ada ketentuan yang clear, sehingga sosialisasi belum bisa masif," katanya ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (5/1).
Berdasarkan penuturan beberapa pihak dari pemerintah, Abra mengatakan, penetapan tarif masih menunggu penyelesaian Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Dalam regulasi ini, diharapkan akan ada pengaturan mengenai subsidi dan bahkan penggratisan untuk pengusaha skala mikro dan kecil.
Dalam pelaksanaannya sampai sejauh ini, pemerintah masih memberlakukan tarif lama oleh MUI. Pelaksanaan itu tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), di mana seharusnya kewenangan telah berpindah ke tangan BPJPH.
Abra menekankan, poin biaya harus segera diselesaikan agar tercipta transparansi publik. Khususnya kepada dunia usaha yang memang menjadi tujuan dari pemberlakuan UU JPH.
"Jangan sampai pengusaha sudah memperkirakan sekian, tapi nyatanya lebih dari itu. Jangan sampai memberatkan," katanya.
Tidak hanya biaya, Abra menambahkan, poin lain yang harus diselesaikan pemerintah sebelum melakukan sosialisasi masif adalah kejelasan prosedur atau mekanisme sertifikasi. Misal, dokumen apa saja yang dibutuhkan dan berapa lama pengusaha bisa mendapatkan sertifikat halal.
Abra mengatakan, tanggung jawab penyelesaian tarif maupun mekanisme bukan hanya tanggung jawab BPJPH. Kementerian terkait seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UKM hingga pemerintah daerah pun harus turut terlibat aktif.
Agar tidak terjadi tumpang tindih, Abra menganjurkan, pemerintah juga harus menentukan leading sector. Misal, ketentuan sertifikasi halal pengusaha mikro dan kecil diberikan tanggung jawabnya kepada Kemenkop dan UKM. "Supaya tidak terjadi overlap dan koordinasinya lebih mudah," tuturnya.
Apabila poin tarif sertifikasi dan mekanisme sudah jelas diatur oleh pemerintah, Abra optimistis, sosialisasi dapat dilakukan dengan lebih mudah dan masif. Apalagi, pengusaha, termasuk UMKM, sudah memiliki jaringan tersendiri.