EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) bersama kementerian/lembaga (K/L) terkait serta para pemangku kepentingan kelapa sawit dan biofuel Indonesia menggelar rapat konsolidasi persiapan konsultasi mengenai gugatan Pemerintah Indonesia atas kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation (DR) Uni Eropa (UE). Seperti diketahui, gugatan dilayangkan Pemerintah Indonesia ke Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization/WTO) karena dinilai mendiskriminasi produk kelapa sawit atau biofuel Indonesia.
“Kami mengadakan rapat konsolidasi ini dengan mengundang Wamenlu serta melibatkan kementerian/lembaga terkait, tim ahli, dan kuasa hukum untuk menyinergikan informasi dan data agar konsultasi dapat dilakukan secara optimal dan menguntungkan Indonesia. Kami mengusulkan kepada Uni Eropa agar konsultasi dapat dilaksanakan pada akhir Januari 2020 di Jenewa, Swiss,” ujar Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga kepada wartawan di Jakarta, Selasa, (7/1).
Sebagai tindak lanjut atas gugatan yang diajukan, Pemerintah Indonesia sebagai penggugat secara resmi telah mengajukan permintaan konsultasi kepada Uni Eropa pada 9 Desember 2019. Atas permintaan tersebut, pada 18 Desember 2019, Uni Eropa telah menjawab dan menerima permintaan konsultasi dari Pemerintah Indonesia.
Melalui kebijakan RED II, Uni Eropa mewajibkan penggunaan bahan bakar di Uni Eropa berasal dari energi yang dapat diperbarui mulai 2020 hingga 2030. Selanjutnya, DR yang merupakan aturan pelaksana RED II memasukkan minyak kelapa sawit ke dalam kategori komoditas yang memiliki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi.
Akibatnya, biofuel berbahan baku minyak kelapa sawit tidak termasuk dalam target energi terbarukan UE. Termasuk minyak kelapa sawit Indonesia.
Hal itu membuat pemerintah Indonesia keberatan dengan dihapuskannya penggunaan biofuel dari minyak kelapa sawit oleh UE. Hal ini dianggap pula sebagai tindakan diskriminatif dan berdampak negatif pada ekspor minyak kelapa sawit atau biofuel Indonesia ke UE dan akan memberikan citra buruk terhadap produk kelapa sawit di perdagangan global.
“Hal tersebut tidak sejalan dengan prinsip Uni Eropa yang mengedepankan fair trade, kebebasan, dan keterbukaan. Selain itu, juga tidak selaras dengan semangat Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement yang sedang dirundingkan kedua negara,” tegasnya.
Pertemuan konsultasi, jelasnya, merupakan langkah awal dari penyelesaian sengketa di WTO. Inisiasi awal dalam gugatan ataupun proses konsultasi ke WTO merupakan langkah yang dapat diambil setiap negara anggota.
Gugatan dapat dilakukan jika kebijakan lain dianggap melanggar prinsip-prinsip yang telah disepakati dalam WTO. Diharapkan melalui konsultasi ini dapat ditemukan jalan keluar terbaik bagi kedua pihak.
“Sangat penting bagi Indonesia untuk menyampaikan pokok permasalahan serta klaim-klaim potensial atas perjanjian WTO yang menurut kita dilanggar oleh Uni Eropa. Jika tidak tercapai kesepakatan, maka Indonesia dapat masuk ke tahap selanjutnya yaitu pengajuan pembentukan panel,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana menambahkan.
Sebagai informasi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor minyak kelapa sawit dan biofuel/Fatty Acid Methyl Ester (FAME) Indonesia ke Uni Eropa dalam lima tahun terakhir (2014—2018) menunjukkan tren negatif atau menurun 6,93 persen.
Pada periode Januari–Oktober 2019, nilai ekspor minyak kelapa sawit dan FAME ke Uni Eropa tercatat sebesar 957 juta dolar AS. Angka itu menurun 8,63 persen dibandingkan periode sama pada 2018 sebesar 1,07 miliar dolar AS.
Sementara pada periode Januari sampai Oktober 2019, nilai ekspor minyak kelapa sawit dan FAME ke dunia juga tercatat melemah 9,33 persen. Sebelumnya sebesar 3,71 miliar dolar AS, kini menjadi USD 3,36 miliar dolar AS year on year (yoy).