EKBIS.CO, JAKARTA -- PT Krakatau Steel (Persero) Tbk telah menyampaikan petisi antidumping Hot Rolled Coil/Plate (HRC/P) atau Baja Gulungan/Lembaran Canai Panas Paduan yang merupakan produk sejenis dari China kepada Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). KADI telah melakukan pra-notifikasi kepada pemerintah China.
Chairman asosiasi besi dan baja nasiona atau the Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) yang juga Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim mengatakan pembuatan petisi tersebut merupakan salah satu upaya pengendalian importasi besi dan baja yang masuk ke Indonesia, khususnya dari China yang dilakukan dengan cara unfair trade.
Silmy mengatakan kondisi ini merupakan bagian dalam rangka mengamankan pasar baja nasional dari praktek pengalihan HS code (circumvention practice) baja impor dan mengamankan potensi bea masuk yang seharusnya diperoleh pemerintah dari praktik tersebut.
"Saat ini banyak negara eksportir melakukan ekspor produk baja dengan cara yang curang, seperti halnya dumping, padahal seharusnya baja paduan sesungguhnya memiliki harga jual yang tinggi karena hanya digunakan oleh industri-industri tertentu," ujar Silmy dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id di Jakarta, Senin (17/2).
Sedangkan baja paduan dari China, kata Silmy, sebagian besar memiliki spesifikasi yang sama dengan produk HRC karbon biasa yang diproduksi produsen baja dalam negeri dan saat ini telah mengalami oversupply.
Silmy menyampaikan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) penting bagi industri baja nasional, mengingat tarif Bea Masuk Most Favoured Nation (MFN) untuk produk-produk baja sebagian besar sudah diturunkan, bahkan sampai nol persen.
Silmy menilai adanya perjanjian perdagangan bebas atau Free Trade Agreement (FTA) antara Indonesia dengan negara-negara penghasil baja besar, salah satunya dengan China, telah menurunkan Bea Masuk MFN hingga nol persen.
"Adanya praktek circumvention dalam importasi produk baja berupa pengalihan pos tarif baja karbon menjadi paduan yang merupakan upaya curang dari eksportir untuk memperoleh keuntungan terhindarnya dari tarif bea masuk dan diperolehnya export tax rebate," ucap Silmy.
Silmy menambahkan impor produk baja paduan seperti boron steel yang pada kenyataannya merupakan produk sejenis yang diproduksi produsen dalam negeri dan diperuntukkan bagi penggunaan komersial telah mengganggu kinerja produsen baja nasional.
Silmy mengatakan impor baja paduan ini terus tumbuh dari 1,4 juta ton pada 2015 menjadi 3,2 juta ton pada 2019, di mana kondisi yang terjadi adalah volume impor baja karbon terus menurun yang disubstitusi oleh meningkatnya volume impor baja paduan secara signifikan.
"Kecenderungan setiap negara sekarang adalah proteksionisme. Mereka berupaya memproteksi industri dalam negerinya, bukan membuka bebas akses importasi," ucap Silmy.
Silmy menjelaskan Amerika Serikat telah mulai mengenakan tarif impor untuk produk baja sebesar 25 persen dan alumunium sebesar 10 persen dan merupakan negara teraktif dalam menerapkan trade remedies (anti dumping, anti subsidi dan safeguard). Sementara itu negara-negara lain seperti Uni Eropa dan Turki telah melakukan upaya pengamanan pasar domestiknya dengan melakukan safeguard terhadap impor baja.
Silmy menyampaikan upaya pengenaan BMAD oleh Kratakau Steel atas produk baja impor kepada negara asal impor terbesar yaitu China membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah.
"Pengajuan petisi antidumping untuk produk HRC Paduan dari China merupakan yang pertama kali dilakukan oleh industri dalam negeri," ungkap Silmy.
Silmy meminta dukungan semua pihak, termasuk pemerintah atas upaya yang sedang dilakukan Krakatau Steel dan produsen HRC nasional sebagai langkah positif perlindungan terhadap industri nasional.