EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai, kondisi defisit BPJS Kesehatan sudah memasuki masa kronis. Sebab, ia mencatat, BPJS Kesehatan masih menyisakan gagal bayar Rp 15,5 triliun per akhir Desember lalu.
Defisit ini masih terjadi meskipun pemerintah pusat sudah menyuntik dana sebesar Rp 13,5 triliun di tahun sama untuk mengurangi defisit yang diestimasikan mencapai Rp 32 triliun sampai akhir 2019.
Kondisi ini yang ditekankan Sri sebagai dasar pemerintah memutuskan menaikkan iuran peserta mandiri BPJS Kesehatan per 1 Januari 2020. Keputusan diambil melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
"Ini diharapkan mampu memberikan tambahan penerimaan BPJS sehingga dia bisa memenuhi kewajiban yang tertunda," ujarnya dalam rapat gabungan lintas komisi bersama dengan pemerintah di Ruang Pansus B DPR, Jakarta, Selasa (18/2).
Dalam rapat yang berlangsung selama sekitar dua jam tersebut, sejumlah anggota DPR meminta agar pemerintah mencabut kenaikan iuran BPJS. Khususnya, yang lebih ditekankan adalah pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) kelas tiga atau kerap disebut sebagai peserta mandiri kelas tiga.
Dalam Perpres 75/2019, dua kelompok ini dibebankan kenaikan iuran dari semula Rp 25.500 per bulan per orang menjadi Rp 42 ribu per bulan per orang. Sri menekankan, pencabutan Perpres 75/2019 tidak dapat dilakukan secara begitu saja.
Apabila DPR memang menginginkan pemerintah membatalkan kenaikan iuran peserta mandiri yang berarti membatalkan Perpres 75/2019, berarti pihaknya harus menarik kembali dana Rp 13,5 triliun yang disuntik pada tahun lalu. "Ini yang harus kita lihat (implikasinya)," tuturnya.
Sri berharap, DPR bersama jajaran kementerian/lembaga lain dapat melihat permasalahan BPJS Kesehatan dari berbagai aspek, tidak hanya dari tarif. Masih ada dua aspek yang harus dijalankan agar sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dapat berjalan secara optimal. Aspek tersebut adalah keadilan dalam pemberian manfaat dan kemampuan BPJS Kesehatan dalam mengumpulkan iuran.
Sri menekankan, regulasi dasar mengenai layanan BPJS Kesehatan menjelaskan bahwa fasilitas negara ini ditujukan untuk pelayanan kesehatan dasar. Kementerian Kesehatan bersama pihak BPJS Kesehatan harus mendefinisikannya.
"Kalau layanan yang diberikan unlimited, mau dibuat kenaikan berapapun, tetap akan jebol (defisit)," katanya.
Poin ketiga, kemampuan BPJS Kesehatan untuk mengumpulkan iuran secara konsisten. Jangan sampai, masyarakat hanya membayar ketika sakit dan berhenti membayar iuran ketika sudah tidak menggunakan layanan kesehatan tersebut.
Sementara itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris menjelaskan, kenaikan iuran merupakan instrumen pemerintah untuk menjaga keberlangsungan JKN secara lebih pasti, akuntabel dan transparan. Selama ini, pemerintah memberikan bantuan setiap tahun yang membutuhkan proses panjang untuk menutupi defisit. Dengan menaikkan iuran, ketahanan dana meningkat dan mampu memberikan kepastian bagi pemerintah, BPJS Kesehatan maupun dunia usaha.
Di sisi lain, bagi masyarakat yang mampu atau tidak termasuk dalam non Penerima Bantuan Iuran (PBI), kebijakan ini mendorong masyarakat untuk membayar sesuai kemampuannya. Sementara, bagi masyarakat yang tidak mampu telah diakomodasi sebagai peserta PBI.
Fahmi memastikan, setelah kebijakan Perpres 75/2019 berlaku pada 1 Januari 2020, PBPU dan BP kelas tiga masih melakukan pembayaran iuran dengan baik. "Ada peningkatan penerimaan iuran sejak diberlakukan penyesuaian yang diharapkan semakin berkontribusi untuk menjaga keberlanjutan program," katanya.