EKBIS.CO, JAKARTA -- Dampak penyebaran virus corona terhadap perekonomian Indonesia sudah mulai terlihat dalam komponen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Januari 2020. Baik itu dari penerimaan pajak hingga bea masuk dan bea keluar serta industri pariwisata.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, salah satu indikatornya adalah penerimaan bruto pajak di sektor transportasi dan pergudangan. Pertumbuhannya kontraksi hingga 5,6 persen dibandingkan Januari 2019 menjadi Rp 4,88 triliun.
"Dari yang biasanya double digit, sekarang negatif," ujarnya dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (19/2).
Pada Januari 2019, pertumbuhan penerimaan pajak transportasi dan pergudangan tercatat mencapai 39,5 persen. Sri menambahkan, kontraksi itu terutama dipengaruhi dari subsektor pengangkutan. Penurunan jumlah wisatawan dari luar negeri, khususnya Cina, menjadi faktor utamanya. Diketahui, sejak virus corona ditetapkan sebagai isu global oleh World Health Organization (WHO), Indonesia membatasi kedatangan turis asal Negeri Panda itu.
Untuk mengantisipasi penurunan lebih dalam, Sri menjelaskan, pemerintah akan memformulasikan kebijakan yang dapat menstimulus sektor pariwisata. Diharapkan, hal ini mampu mendorong pertumbuhan sektor transportasi dan pergudangan, sehingga meningkatkan penerimaan pajak.
"Kita coba kembalikan flow dari traffic laut dan udara, supaya bisa ciptakan kegiatan ekonomi," katanya.
Efek yang besar itu bukan tanpa dasar. Sri mengatakan, wisatawan Cina menyumbang 13 persen dari total turis setelah Malaysia.
Sektor lain yang juga terdampak adalah perdagangan. Pertumbuhan penerimaan bruto pajak pada Januari 2020 adalah 2,6 persen menjadi Rp 22,18 triliun, melambat dari pertumbuhan Januari 2019, yakni 8,4 persen.
Sri mengatakan, tren ini patut diwaspadai, terutama mengingat pengaruhnya dari virus corona. Khususnya pada paruh kedua Januari.
"Tadinya harus tumbuh karena ada liburan Imlek, sekarang justru melambat," tuturnya.
Indikator lain yang disebutkan Sri adalah bea masuk. Pertumbuhan per Januari 2020 kontraksi 9,04 persen, dari Rp 3,09 triliun pada Januari 2019 menjadi Rp 2,81 triliun pada bulan lalu.
Perlambatan dan penurunan kinerja bea masuk terjadi di lapangan usaha utama. Salah satunya, perdagangan besar dan eceran yang tumbuh negatif 15,0 persen dari semula 5,5 persen pada tahun lalu. Nilainya per Januari 2020 menjadi Rp 1,40 triliun. "Ini pasti ada pengaruh virus corona," kata Sri.
Selain itu, sektor industri pengolahan juga kontraksi 1,7 persen menjadi Rp 1,30 triliun. Padahal, di periode yang sama pada tahun lalu, pertumbuhannya adalah 10,7 persen.
Sri menyebutkan, virus corona merupakan down side risk yang patut diantisipasi terhadap pertumbuhan perekonomian global, termasuk Indonesia. Terlebih, selama empat kuartal berturut-turut di tahun lalu, ekonomi Indonesia sudah menghadapi tantangan besar di mana impor mengalami kontraksi. "Sekarang, dengan virus corona, mungkin akan alami tambahan disruption," ucapnya.
Sri menjelaskan, pelemahan pertumbuhan China pasti berdampak besar ke Indonesia. Apabila mereka melemah satu persen dari baseline, pengaruh ke perekonomian Indonesia turut mengalami penurunan 0,3 sampai 0,6 persen.
Meski tidak sampai satu persen, Sri menyebutkan, penurunan itu cukup signifikan karena dasar pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah pertumbuhan ekonomi 2019, yakni 5,2 persen.
Konsumsi dari China yang mengalami penurunan drastis karena pertumbuhan ekonomi menurun dan pembatasan mobilitas pun, maka permintaan terhadap barang-barang yang dihasilkan Indonesia juga ikut menurun. "Misalnya, CPO (crude palm oil) dan batu bara," tuturnya.