Senin 24 Feb 2020 15:30 WIB

Pelindo IV: Pemerintah Harus Gerak Cepat Hadapi AS

Indonesia dan negara berkembang mendapatkan perlakuan istimewa dalam perdagangan.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Siluet deretan gedung bertingkat di Kawasan Jakarta Pusat, Jumat (2/2).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Siluet deretan gedung bertingkat di Kawasan Jakarta Pusat, Jumat (2/2).

EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktur Utama PT Pelindo IV Persero Farid Padang menilai, pemerintah harus bergerak cepat untuk menghadapi kebijakan Kantor Perwakilan Perdagangan atau Office of the US Trade Representative (USTR) di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang tidak lagi memasukkan Indonesia sebagai negara berkembang. Di antaranya dengan memberikan insentif bagi eksportir. 

Dengan keluarnya Indonesia dari daftar negara berkembang, Farid menuturkan, fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) sulit untuk diberikan. Artinya, eksportir harus membayar bea masuk terhadap sejumlah produk ekspor, dari yang selama ini dibebaskan atau diringankan. "Bagaimana caranya supaya ekspor kita jangan berkurang, dan tidak bebankan nilainya kepada eksportir," ujarnya ketika ditemui usai diskusi di Jakarta, Senin (24/2). 

Baca Juga

Selama ini, Indonesia dan negara berkembang yang mendapatkan fasilitas GSP mendapatkan perlakuan istimewa dalam perdagangan. Baik itu berupa keringanan dan pembebasan bea masuk maupun bantuan lainnya dalam aktivitas ekspor-impor. 

Untuk menekan dampak ke eksportir, Farid menganjurkan, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea Cukai ataupun Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mengeluarkan insentif pajak.

Opsi lain, pemerintah membantu perluasan pasar untuk menggantikan posisi AS seperti negara-negara di Eropa dan Afrika Selatan maupun negara berkembang lain seperti Bangladesh. "Supaya kita bisa memperoleh bea masuk seperti di sana (AS)," tuturnya.   

Farid menambahkan, pemerintah juga dapat mengenakan atau meningkatkan pajak dalam rangka impor (PDRI) terhadap produk AS. Kebijakan serupa sudah dilakukan AS. Arahannya bukan bermaksud untuk perang, melainkan sebagai kompensasi dari bea masuk yang selama ini hilang 10 sampai 20 persen karena Indonesia masuk ke dalam G20. 

Tidak hanya memberatkan eksportir, Farid menyebutkan, kebijakan USTR juga berpotensi memperlebar defisit neraca perdagangan Indonesia melebar. Sebab, kontribusi ekspor ke AS mencapai 12 persen dari total ekspor Indonesia. "Intinya, pemerintah harus cekatan," katanya. 

Saat ini, USTR belum menyebutkan secara resmi apakah kebijakan mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang berdampak pada pencabutan GSP. Tapi, Farid memprediksi, arahannya akan seperti itu mengingat strategi dagang AS selama setahun yang ingin meningkatkan biaya bea masuk ke negara lain. 

Sementara itu, Deputi Bidang Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Affandi Lukman mengatakan, keputusan akhir USTR belum ditentukan sampai saat ini. Pemerintah masih menunggu keputusan mereka ketika tim USTR ke Jakarta pada awal Maret. "Jadi, kita tunggu saja sikap AS terhadap fasilitas GSP yang diterima Indonesia," katanya saat dihubungi, Senin.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement