EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah akan mempertimbangkan stimulus terhadap banyak aspek pajak untuk menjaga momentum ekonomi dunia usaha. Khususnya untuk pengusaha yang memiliki reputasi baik terkait pembayaran maupun pelaporan pajak.
Beberapa komponen yang disebutkan Sri adalah Pajak Penghasilan (PPh) 21 untuk karyawan, PPh 25 atau pajak yang dibayar secara angsuran, PPh 22 untuk kegiatan ekspor dan impor hingga percepatan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). "Kita tengah hitung keseluruhan, terutama sektor yang terkena (dampak perlambatan ekonomi) dan kemudian dampak kepada neraca mereka," ujarnya dalam acara Rapat Kerja Kementerian Perdagangan di Jakarta, Kamis (5/3).
Tapi, Sri masih enggan menjelaskan skema insentif tersebut secara pasti dan waktu pelaksanaannya. Sebab, ia masih harus berdiskusi terlebih dahulu dengan kementerian lain dan dipresentasikan dulu kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Apabila Presiden Jokowi sudah setuju, Sri mengatakan, baru pihaknya dapat menceritakan kepada media yang dilanjutkan dengan implementasi kepada dunia usaha. "Tunggu tanggal mainnya," kata mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu.
Relaksasi ini bukanlah hal pertama yang dilakukan pemerintah. Menurut Sri, kebijakan serupa sempat diberlakukan ketika terjadi krisis finansial pada 2008 dan 2009 yang sama-sama bertujuan ingin melakukan relaksasi agar aktivitas ekonomi dunia usaha dapat berjalan secara efisien dan tepat.
Sementara itu, Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan, stimulus dari instrumen pajak memang dibutuhkan di tengah situasi ekonomi yang sedang melambat saat ini. Apalagi dengan penyebaran virus corona atau Covid-19, situasi ekonomi global semakin suram.
"Pertimbangannya harus komprehensif," tuturnya saat dihubungi Republika.co.id, Kamis.
Salah satu kebijakan yang disoroti Darussalam adalah penundaan pungutan PPh 21. Rencana ini sempat disampaikan Sri Mulyani saat ditemui di Gedung Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Rabu (4/3).
Menurut Darussalam, pada dasarnya, wacana tersebut dapat dijustifikasi. Pertama, kebijakan ini hanya berupa penundaan dan bukan pembebasan, sehingga lebih untuk mengurangi kesulitan cash flow perusahaan.
Faktor kedua, Darussalam menuturkan, instrumen serupa pernah dilakukan. Meski demikian, perlu juga ditelusuri sejauh mana kesamaan permasalahan kondisi ekonomi 2008-2009 dengan 2019-2020. "Jika diperhatikan, 2008/09 itu lebih condong kepada krisis sektor keuangan, sedangkan sekarang lebih kepada menurunnya daya beli dan permintaan agregat," ujarnya.
Ketiga, penundaan PPh 21 bisa dilakukan sepanjang kriteria bagi perusahaan yang memperoleh fasilitas tersebut diperjelas dan tidak berlaku seluruhnya. Pasalnya, suka tidak suka, di saat krisis seperti ini, jenis penerimaan yang relatif stabil adalah PPh Orang Pribadi.
Apalagi, berdasarkan catatan Darussalam, PPh 21 juga berkontribusi sekitar 10 sampai 12 persen dari total penerimaan pajak. Oleh karena itu, ia menekankan kepada pemerintah untuk terus berhati-hati dalam mendesain kebijakan.