EKBIS.CO, PADANG -- Deputi Komisioner Pengawasan Pasar Modal II OJK Fahri Hilmi menjelaskan terdapat tiga faktor yang menyebabkan pasar modal Indonesia mengalami tekanan yang secara year to date (ytd) sejak Januari 2020 hingga saat ini mengalami penurunan 21 persen.
“Sekarang indeks sudah liar bisa dibayangkan biasanya 6.000 sekarang 4.948 jadi year to date dari Januari sudah turun 21 persen, lalu dari Maret tahun lalu sudah turun 24 persen,” katanya di Hotel Mercure, Padang, Kamis (13/3).
Fahri menyatakan tekanan tersebut tidak hanya terjadi untuk pasar modal Indonesia saja, namun juga beberapa negara lain seperti Singapura turun 3,04 persen dan Hang Seng 3,68 persen. “Sebenarnya tidak hanya Indonesia tapi indeks-indeks negara lain juga. Singapura sudah turun 3,04 persen, Hang Seng 3,68 persen, Nikkei 4,41 persen dan itu berlanjut minimal sejak satu bulan terakhir,” katanya.
Menurut Fahri, tekanan terhadap pasar modal dunia tersebut disebabkan oleh tiga faktor, yaitu wabah virus corona atau Covid-19, perang harga minyak, dan penurunan suku bunga oleh Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed). Ia mengatakan virus corona yang semakin mewabah di berbagai negara dan kasusnya meningkat yang justru di luar China menyebabkan WHO menaikkan statusnya menjadi pandemi.
Wabah virus corona membuat kekhawatiran tersendiri hingga Italia menutup akses untuk keluar dan masuk ke negaranya serta Amerika Serikat (AS) yang tidak menerima kunjungan dari warga Eropa menyebabkan seluruh aspek ekonomi terimbas. “WHO semalam menyatakan ini pandemi. Sekarang Italia sudah country lock down, nggak boleh masuk dan keluar. Trump juga tidak akan menerima visitor yang berasal dari Eropa jadi semua aspek ekonomi terkena,” katanya.
Faktor kedua adalah adanya perang harga minyak dunia setelah Rusia menolak keras usulan pengurangan produksi curam OPEC untuk menstabilkan harga karena wabah virus corona memperlambat ekonomi global dan mengganggu permintaan energi. “Kedua yang kita hadapi sekarang adalah perang harga minyak yang sudah menyentuh 30 dolar AS per barel. Akhirnya dibalas Arab Saudi yang sekarang liftingnya 12,3 juta barel per hari dan itu 20 kali lipat lifting Indonesia,” ujarnya.
Faktor ketiga, yaitu keputusan The Fed yang menurunkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 1,00 hingga 1,25 persen dilatarbelakangi oleh wabah Covid-19. “Amerika kemarin meluncurkan penurunan suku bunga untuk menangkal krisis dan tidak berhasil. Kita lihat sampai sekarang indeks masih tertekan,” ujar Fahri.
Ia mengatakan untuk faktor dalam negeri melalui adanya Covid-19 yang mulai menginfeksi beberapa masyarakat Indonesia, kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero), dan pemangkasan target pertumbuhan ekonomi 2020 juga semakin menekan pasar modal. “Belum ada yang bisa mengatakan isu Covid-19 bisa selesai satu bulan, tiga bulan, atau satu tahun karena begitu ada pengumuman pasien Kasus 25 meninggal langsung turun lagi (indeks),” katanya.