EKBIS.CO, JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan segera menemui DPR untuk membahas keberlanjutan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 di tengah dinamika global. Khususnya penyebaran virus corona (Covid-19) yang memberikan tekanan terhadap perekonomian global maupun Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui, kienrja anggaran negara tahun ini mendapatkan hantaman keras dari global serta domestik. Setelah ingin mencoba bangkit dari tekanan perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China pada tahun lalu, kini ekonomi harus terpukul dengan wabah Covid-19 dan harga minyak dunia yang jatuh.
Dengan kondisi tersebut, Sri menuturkan, pihaknya akan membahasnya bersama pihak legislatif. Di antaranya mengenai kemungkinan perubahan asumsi makro, perubahan di perekonomian Indonesia dengan Covid-19, harga minyak serta pelemahan nilai tukar.
"Kita akan berkomunikasi dengan DPR beserta pimpinannya, juga dengan Badan Anggaran dan Komisi XI," ujarnya dalam konferensi pers live streaming, Rabu (18/3).
Sri mengatakan, pertemuan tersebut mungkin tidak dilakukan dengan pertemuan langsung mengingat anjuran social distancing untuk menekan penyebaran Covid-19. Tapi, ia masih belum dapat memastikan waktu pertemuan karena DPR masih dalam masa reses yang diperkirakan selesai pada Senin (23/2).
Dalam pertemuan itu, Sri menekankan, tujuan pembahasan adalah negara ingin mengamankan masyarakat dan ekonomi, dari sisi fiskal maupun moneter. "Masyarakat dibuat tenang, begitupun dengan ekonomi dibuat maju. Jadi, kita hitung seberapa besar amunisi akan diunload," kata mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu.
Tantangan perekonomian terlihat dari realisasi penerimaan perpajakan yang tumbuh melambat. Hingga Februari, pertumbuhannya hanya 3,03 persen (year on year/yoy) atau menjadi Rp 178 triliun. Padahal, di periode yang sama pada tahun lalu, pertumbuhannya mampu tumbuh 10,1 persen (yoy).
Sri juga sudah memastikan, situasi yang penuh tekanan di tahun ini menyebabkan pemerintah harus memperlebar defisit APBN dari yang semula 1,76 persen terhadap PDB menjadi 2,5 persen terhadap PDB. Kebijakan ini dilakukan sebagai dampak dari proyeksi penerimaan yang terus tertekan, sementara belanja pemerintah pusat tetap digenjot.