EKBIS.CO, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan aturan mengenai relaksasi kredit bagi debitur terdampak virus corona. Aturan ini tertuang dalam Peraturan OJK No 11/POJK.03/2020 diterbitkan sebagai stimulus bagi industri perbankan dan debitur.
Menurut Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah relaksasi kredit harus bisa dilakukan secara cepat oleh perbankan. “Semakin cepat semakin baik,” ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (25/3).
Kendati demikian, Piter pesimistis relaksasi kredit bisa berjalan cepat. Sebab, selama ini penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia tidak serta merta diikuti oleh penurunan suku bunga kredit perbankan termasuk suku bunga UMKM.
“Banyak faktor yang menyebabkan bank tidak bisa segera menurunkan suku bunga, masih tingginya cost of fund di tengah ketatnya likuiditas serta tingginya risiko kredit UMKM di tengah wabah corona,” jelasnya.
Faktor tersebut, menurut Piter, membuat relaksasi kredit diperkirakan tidak segera bisa direalisasikan meskipun Bank Indonesia sudah menurunkan suku bunga acuannya. Pada sisi lain, perbankan juga mengalami tingkat kredit bermasalah yang cukup meningkat di tengah wabah corona.
“NPL diperkirakan akan meningkat akibat melemahnya ekonomi karena corona,” ucapnya.
Dari sisi perbankan, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk sedang melakukan langkah-langkah strategis untuk memetakan sektor-sektor ekonomi dan daerah yang terdampak penyebaran virus corona terutama pelaku UMKM. Sekretaris Perusahaan BRI Amam Sukriyanto menambahkan kondisi ini memberi tekanan bagi sektor UMKM yang kegiatan usahanya mayoritas masih menggunakan pola konvesional atau interkasi jual beli tatap muka.
“BRI juga melaksanakan serangkaian skenario mulai strest test hingga melakukan selektif ekspansi untuk meningkatkan risk awareness jajaran bisnis,” ujarnya.
Menurutnya BRI sudah menyiapkan beberapa mekanisme khusus, seperti relaksasi restrukturisasi dan relaksasi kebijakan kredit. Langkah ini merupakan upaya preventif BRI untuk mengurangi dampak terhadap kinerja debitur yang diperkirakan akan menurun akibat virus corona, sehingga meningkatkan risiko kredit yang berpotensi mengganggu kinerja perbankan.