EKBIS.CO, JAKARTA -- Kinerja industri manufaktur Indonesia menurun. Hal itu terlihat dari data purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia IHS Markit yang menurun dari posisi 51,9 pada Februari ke level 45,3 pada Maret. Posisi tersebut terendah sejak 2011.
Menanggapi itu, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Dorojatun Sanusi menyatakan, farmasi sebagai bagian dari manufaktur memiliki kapasitas produksi cukup besar. Hanya saja mengalami kesulitan pengadaan bahan baku.
"Kita untuk kebutuhan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) atau BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) kan belum tahu berapa kebutuhannya dan harganya berapa, karena suplai bahan baku dari negara asalnya China dan India tidak lancar, kita sudah sampaikan dari awal karena berbagai kendala, harga bahan baku dari sana sudah naik," jelas Dorojatun saat dihubungi Republika pada Kamis, (2/4).
Ia menambahkan, penguatan mata uang dolar AS serta melemahnya rupiah hingga terdepresiasi hampir 20 persen, turut memengaruhi impor bahan baku. Sementara, kemampuan finansial industri terbatas.
"Kondisinya kita masih tunggu kelancaran pembayaran utang-utang dari fasilitas kesehatan yang menunggak lama dan sangat besar. Saat ini tunggakannya sekitar Rp 4 sampai Rp 4,5 triliun," kata dia.
Maka, tegasnya, masalah yang dihadapi industri farmasi sekarang yakni kapasitas berlebih namun kemampuan finansial tidak ada. Sedangkan harga bahan baku naik.
Meski begitu, lanjut dia, industri terus berproduksi sesuai kemampuan. "Sekarang kita tahu obat apa yang diperlukan, kita usahakan mampu produksi, impor (bahan baku) kita lakukan, harga tinggi jadi tidak maksimal output rendah, karena kondisi finansialnya," jelas Dorojatun.
Ia mengatakan, paling tidak bahan baku farmasi aman sampai akhir April. Hanya saja tergantung jenis bahan bakunya.