EKBIS.CO, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani memperhitungkan, penerimaan pajak tahun ini akan mengalami pertumbuhan negatif atau kontraksi hingga 5,9 persen dibandingkan tahun lalu. Kondisi ini jauh memburuk dibandingkan pertumbuhan positif pada 2019, yaitu 1,4 persen dibandingkan 2018.
Sri menjelaskan, ada berbagai faktor yang menyebabkan kontraksi pada penerimaan pajak. Salah satunya, penurunan pertumbuhan ekonomi serta perang harga minyak antara Arab Saudi dengan Rusia.
"Kemudian, adanya fasilitas pajak insentif pada stimulus kedua," tuturnya dalam teleconfere Rapat Kerja Komisi XI DPR, Senin (6/4).
Pada stimulus kedua, pemerintah menganggarkan Rp 22,5 triliun untuk stimulus fiskal kepada sektor manufaktur. Saat ini, Sri menambahkan, pemerintah juga sedang memformulasikan relaksasi pajak tambahan berupa perluasan stimulus untuk hampir semua dunia usaha terdampak yang berpotensi menekan penerimaan pajak.
Pemerintah juga mengurangi tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 25 persen menjadi 22 persen pada tahun ini. Kebijakan tersebut tertuang dalam Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/ atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Faktor terakhir, dampak dari potensi penundaan PPh dividen apabila Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Perpajakan disahkan. Dalam instrumen ini, pemerintah menghapus PPh atas dividen dalam negeri dan luar negeri untuk menambah daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan investasi.
Tidak hanya pajak, Sri mengatakan, penerimaan bea dan cukai juga mengalami kontraksi 2,2 persen. "Ini dengan memperhitungkan stimulus pembebasan bea masuk untuk 19 industri atau akan diperluas," katanya.
Sementara itu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tumbuh minus 26,5 persen karena harga Indonesian Crude Price (minyak mentah Indonesia) yang jauh lebih rendah dibandingkan asumsi makro dalam APBN 2020. Sebelumnya, pemerintah menetapkan asumsi 63 dolar AS per barel untuk ICP, yang kini realisasinya di bawah 30 dolar AS per barel.
PNBP dari Sumber Daya Alam non migas pun diyakini Sri juga turun mengingat harga batubara dunia yang sedang mengalami tren penurunan.
Secara keseluruhan, Sri mengatakan, penerimaan negara sepanjang tahun akan kontraksi 10 persen dengan penerimaan dari perpajakan kontraksi 5,4 persen. "Sehingga, tax ratio dalam arti luas adalah 9,14 persen," ucap mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.