EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi, ekonomi Indonesia mampu tumbuh 4,5 hingga 4,6 persen pada kuartal I. Meski di bawah lima persen, angka itu masih dinilai sebagai gambaran positif mengingat perlambatan lebih dalam diproyeksikan terjadi pada kuartal-kuartal berikutnya.
Sri menjelaskan, data pada Januari dan Februari cukup menunjukkan adanya momentum pemulihan ekonomi setelah mengalami tekanan akibat dampak perang dagang sepanjang 2019. “Konsumsi, investasi dan ekspor masih menunjukkan kegiatan positif, pada Januari, Februari dan minggu pertama Maret,” tuturnya dalam konferensi pers APBN Maret 2020 melalui teleconference, Jumat (17/4).
Tekanan besar baru terasa pada pekan kedua Maret. Tepatnya saat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan covid baru (Covid-19) sebagai pandemi global. Situasi ekonomi baik dari perdagangan maupun keuangan mulai menunjukkan perubahan signifikan menuju perlambatan, bahkan kecenderungan kontraksi.
Sri memproyeksikan, tren perubahan tersebut baru akan terlihat sejak data April. Sebab, kebijakan pembatasan sosial seperti Working From Home (WFH) dan restriksi mobilisasi manusia baru diberlakukan secara ketat pada awal April.
"Sehingga terlihat pengaruhnya pada kuartal kedua," ujar mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu.
Sri menyebutkan, momentum paling kritikal adalah kuartal ketiga. Periode tersebut menentukan apakah Indonesia akan masuk dalam skenario berat dengan pertumbuhan ekonomi diprediksi 2,3 persen atau skenario sangat berat, yaitu ekonomi mengalami kontraksi hingga 0,4 persen.
Sampai saat ini, belum ada pihak yang bisa memastikan apakah pandemi Covid-19 membaik pada kuartal ketiga atau tidak. Sri mengakui, dirinya pun hanya bisa berikhtiar. Salah satunya dengan mengeluarkan berbagai insentif pemerintah pada kuartal kedua.
"Mulai dari bansos, BLT (Bantuan Langsung Tunai), bantuan sembako, kartu prakerja," katanya.
Sri berharap, insentif tersebut dapat disalurkan dengan lancar sehingga mampu mengurangi dampak shock pandemi Covid-19 ke masyarkaat maupun dunia usaha. Dampak berikutnya, ekonomi domestik yang masih bergantung ke konsumsi rumah tangga juga dapat bertahan.
Tidak hanya APBN, Sri menambahkan, dorongan terhadap konsumsi kini juga sudah mulai dilakukan oleh kelompok masyarakat kelas menengah atas. Mereka banyak melakukan inisiatif untuk memberikan bantuan kepada masyarakat bawah. Langkah ini diharapkan mampu menambah daya beli masyarakat, sehingga kemampuan konsumsi mereka bisa membaik.
"Meski (pertumbuhan konsumsi) sulit untuk sama seperti tahun lalu, lima persen, kami harap (konsumsi) masih bisa berdegup dan berjalan," tutur Sri.