EKBIS.CO, BANJAR -- Pandemi virus corona melanda Indonesia menggerus sektor ekonomi. Tidak terkecuali petani florikultura. Mereka ikut merasakan efek domino Covid-19 dengan redupnya pasar bunga.
Sebagaimana yang dialami oleh petani florikultura di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Lokasi ini merupakan sentra pengembangan florikultura seperti melati, mawar, dan kenanga yang tersebar di dua Kecamatan, Martapura dan Karang Intan.
Pengembangan florikultura di Martapura berada di Desa Bincau dan Labuantabu, sedangkan di Karang Intan berada di Desa Jingah Habang Ilir, Jingah Habang Ulu dan Pandak Daun. Mochamad Fachry, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Banjar, saat dikonfirmasi menyampaikan bahwa petani florikultura di wilayah tersebut mengeluhkan sepinya pembeli. Sejak pandemi, tidak ada acara hajatan, keagamaan dan ziarah.
"Pada hari biasanya sebelum pandemi, mereka dapat menjual melati setiap hari dengan harga Rp 7 ribu per gelas (sekitar 10 gram). Setelah pandemi, petani hanya bisa menjual bunga setiap tiga hari sekali itupun dengan harga yang rendah, Rp 2 ribu per gelas" ujar pria yang biasa dipanggil Fachry itu melalui keterangan tertulisnya, Rabu (22/4).
"Melihat kondisi tersebut, kami berinisiatif memanfaatkan bunga melati, mawar dan kenanga untuk digunakan sebagai bahan pembuatan hand sanitizer yang saat ini sedang marak didengungkan" ungkap Fachry.
Lebih detil Fachry menjelaskan bahwa Bidang Teknologi Hortikultura telah menyelenggarakan pelatihan pembuatan hand sanitizer beraroma melati dan mawar. Pelatihan digelar pada pertengahan April di Desa Desa Jingah Habang Ilir yang diikuti oleh Kelompok Tani Bina Bersama. Hal tersebut sebagaimana arahan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL). SYL meminta seluruh elemen masyarakat, untuk bahu-bahu mendorong inovasi di bidang pertanian.
Fachry mengatakan, dalam pembuatan hand sanitizer tersebut, Dinas Pertanian juga berkonsultasi dengan Universitas Lambung Mangkurat. Adapun komposisi hand sanitizer adalah air bunga (melati/mawar/kenanga), alkohol 95 persen dan lidah buaya. “Khusus untuk bunga melati, bunga yang dimanfaatkan untuk bahan hand sanitizer adalah kuntum bunga yang belum mekar namun sudah tua. Bunga yang sudah mekar dan kuntum yang rusak tidak dimanfaatkan,” kata dia.
Fachry menceritakan bahwa inisiatif pembuatan hand sanitizer ini bertujuan untuk membantu petani florikultura yang hasil panennya tidak terserap pasar karena bunga tersebut tidak dapat bertahan lama."Diversifikasi produk sangat perlu dilakukan agar bidang usaha masyarakat tetap berlangsung dan tidak sampai mati" ujarnya.
Jauh sebelumnya, masyarakat di kecamatan Martapura dan Karang Intan tersebut telah melakukan pembuatan kosmetik seperti pelembab dan penyegar dengan menggunakan air mawar. Pembuatan kosmetik maupun hand sanitizer rencananya akan diproduksi lebih banyak dari waktu biasanya sebelum pandemi.
“Namun rencana tersebut terkendala oleh harga botol yang naik hingga 4 kali lipat, yang sebelumnya per botol 100 ml seharga Rp 3 ribu sekarang menjadi Rp 12 ribu,” terang Fachry.
Adanya pengendalian harga botol agar harganya tidak melambung tinggi menjadi harapan Fachry. "Selalu ada peluang dalam kesempitan. Di saat kondisi pandemi ini, dapat memunculkan kreativitas untuk mencari solusi dari setiap permasalahan, ungkapnya lega.
Saat dihubungi dalam kondisi WFH (Work From Home), Liferdi Lukman, Direktur Buah dan Florikultura mengatakan bahwa kelompok tani melati di Kabupaten Banjar telah dibimbing oleh Direktorat Buah dan Florikultura pada Tahun 2019.
Ia menambahkan pada Tahun 2020 ini mendapat pengembangan kawasan melati lebih luas lagi agar petani tabah dan tetap semangat menghadapi Covid-19. “Saat ini sangat dibutuhkan kreativitas dalam memasarkan produk florikultura dan berharap bahwa pandemi ini segera berakhir agar petani florikultura kembali berseri” tutur Liferdi optimistis.