EKBIS.CO, oleh Antara
Mulai Jumat (8/5), Didiek Hartantyo ditunjuk oleh Menteri BUMN Erick Thohir sebagai Direktur Utama baru PT Kereta Api Indonesia (KAI). Keputusan Erick untuk menunjuk Didiek Hartantyo sebagai Dirut baru BUMN perkeretaapian tersebut secara otomatis menggantikan Direktur PT KAI sebelumnya Edi Sukmoro yang telah memimpin selama enam tahun yakni dari 2014 sampai dengan 2020.
Didiek Hartantyo lahir di Jakarta pada 1960. Dia menyelesaikan pendidikan S1 di Unversitas Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah, pada 1985. Usai menyelesaikan studi S1, Didiek kemudian melanjutkan dan menuntaskan pendidikan S2 di Daniel School of Business, University of Denver, USA, pada 1995.
Didiek kemudian merintis karier sebagai bankir di Bank Mandiri dengan pernah menjabat sebagai Group Head Financial Institutions tahun 2010–2011 , kemudian Group Head Corporate Banking II Bank Mandiri 2011-2016. Dalam laman akun resminya di Linkedin, Didiek Hartantyo kemudian menjabat sebagai Executive Vice President Bank Mandiri selama lima tahun dari periode 2011 sampai dengan 2016.
Didiek kemudian bergabung dengan PT Kereta Api Indonesia (Persero) sejak 25 Januari 2016 sebagai Direktur Keuangan berdasarkan Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor: SK-21/MBU/01/2016 yang kemudian diperbaharui menjadi Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor: SK-10/MBU/01/2018 tanggal 15 Januari 2018.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada Jumat 8 Mei 2020, Direktur Keuangan PT KAI tersebut ditunjuk oleh Menteri BUMN Erick Thohir sebagai Direktur baru PT KAI yang tertuang dalam Surat Nomor: SK-142/MBU/05/2020 Tentang Pemberhentian, Pengalihan Tugas, Dan Pengangkatan Anggota-Anggota Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Kereta Api Indonesia. Didiek Hartantyo sebagai Direktur baru PT KAI kini mengemban tantangan jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.
Operasional KRL dan saran Kemenkes
Tantangan dalam waktu dekat yang perlu diatasi oleh Didiek Hartantyo dalam posisinya yakni Dirut baru PT KAI adalah operasional kereta komuter atau dikenal juga sebagai KRL selama pemberlakuan PSBB.
Wakil Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mendorong Direktur baru PT Kereta Api Indonesia (KAI) Didiek Hartantyo untuk meminta masukan dari Kementerian Kesehatan ketika akan mengkaji kembali operasional kereta komuter atau KRL selama pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jabodetabek. Menurut ekonom Indef tersebut, masukan apapun yang akan diberikan oleh Kementerian Kesehatan terkait protokol kesehatan atau bahkan pembatasan super ketat baik di kereta maupun stasiun perlu segera ditindaklanjuti oleh PT KAI sebagai perusahaan induk yang membawahi operator KRL yakni PT Kereta Commuter Indonesia (KCI).
Selain itu PT KAI juga perlu berkoordinasi secara intens dan mengonsultasikan terlebih dahulu masukan-masukan dari Kementerian Kesehatan kepada Kementerian Perhubungan mengenai operasional KRL selama PSBB.
Menurut dia langkah pengkajian kembali operasional KRL selama PSBB ini penting dilakukan. Tujuannya agar semakin mendukung efektivitas pemberlakuan PSBB secara ketat yang dijalankan para kepala daerah di wilayah Jabodetabek dalam rangka memutus rantai penyebaran pandemi Covid-19.
Modernisasi sinyal perkeretaapian
Selain itu pekerjaan rumah lain yang perlu dituntaskan oleh Direktur baru PT KAI adalah upaya untuk melakukan modernisasi sinyal perkeretaapian dalam mendukung kelancaran layanan serta mobilitas transportasi kereta api. Ekonom Indef Eko Listiyanto menilai aspek persinyalan transportasi kereta api di Indonesia masih menjadi kendala, di saat jumlah kereta saat ini yang semakin banyak dan sangat intens melayani pergerakan masyarakat.
Hal ini dikarenakan sinyal perkeretaapian di Indonesia masih menggunakan teknologi lama, sehingga modernisasi persinyalan menjadi hal penting yang perlu dilakukan. Selain modernisasi fisik kereta dan infrastruktur rel agar manfaatnya banyak dirasakan juga oleh publik.
Pengamat ekonomi itu juga melihat bahwa sejauh ini PT KAI telah melakukan pembenahan-pembenahan secara signifikan dalam pelayanan transportasi kereta api dibandingkan sebelumnya. Seperti pembenahan di kota-kota besar Indonesia terutama wilayah Jabodetabek dari sisi penambahan jumlah kereta.
Selain itu PT KAI juga semakin gencar melakukan pembenahan dalam aspek jalur pelintasan sebidang kereta dengan membuat jalur bawah tanah (underpass) atau jalur layang (flyover) kereta api, agar tidak mengganggu lalu lintas moda transportasi darat lainnya.
Memajukan kereta logistik
Tantangan strategis jangka panjang yang perlu diselesaikan oleh Dirut PT KAI adalah bagaimana BUMN perkeretaapian tersebut bisa memajukan layanan kereta logistik seperti halnya kereta penumpang yang selama ini sudah semakin baik pelayanannya. Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto, upaya untuk lebih memajukan kereta logistik bertujuan mendukung kelancaran sistem dan menekan ongkos logistik nasional.
Eko menilai bahwa moda kereta api di Indonesia sejauh ini lebih melayani penumpang tapi masih sedikit dalam melayani logistik barang, sementara pelayanan kereta logistik barang di Indonesia belum semasif seperti di luar negeri.
Negara-negara lain memiliki ongkos logistik yang rendah dan biaya produknya lebih kompetitif. Salah satunya karena berhasil mengefisiensikan ongkos distribusi serta logistik.
Dengan menggunakan kereta api maka ongkos distribusi barang relatif lebih murah dibandingkan menggunakan moda transportasi darat lainnya lewat jalan tol dan nasional.
Sementara itu dalam kesempatan berbeda, pengamat transportasi Djoko Setidjowarno menyarankan agar pemerintah dan swasta bisa masuk untuk kereta barang logistik, seperti di Kalimantan dan Sulawesi yang memungkinkan sehingga tidak memerlukan subsidi. Dia juga menjelaskan bahwa dorongan Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, kepada swasta untuk turut serta mendanai proyek pengembangan kereta api sebagai transportasi massal, tentu untuk menyikapi keterbatasan dana APBN untuk sektor tersebut.
Pola kemitraan pemerintah dan swasta dalam penyediaan infrastruktur transportasi merupakan hal lumrah dan telah dilaksanakan lebih dulu oleh negara-negara lain, misalnya Malaysia, China hingga Inggris.
Menurut Djoko, insentif berupa konsesi lahan yang diberikan menjadi insentif menarik agar pihak swasta lebih banyak ikut mendanai.