Ahad 17 May 2020 14:34 WIB

Teknologi Asap Cair untuk Pertanian Ramah Lingkungan

Teknologi asap cair digunakan agar bisa ramah pada lingkungan.

Red: Muhammad Hafil
Teknologi Asap Cair untuk Pertanian Ramah Lingkungan
Foto: Dok Republika
Teknologi Asap Cair untuk Pertanian Ramah Lingkungan

EKBIS.CO, JAKARTA -- Tingginya pencemaran lingkungan di antaranya akibat limbah sampingan hasil pertanian menjadi isu global yang diperhatikam Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Ketindan sebagai UPT di bawah Badan Penyuluhan dan Pengembangan Seumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP). Namun, instansi ini juga telah mampu membuat instalasi sederhana penghasil asap cair yang mudah untuk diadopsi oleh para pelaku usaha. 

Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) Kementerian Pertanian (Kementan), Dedi Nursyamsi juga menganjurkan agar petani senantiasa membuat secara mandiri input produksinya, seperti pupuk organik padat, pupuk organik cair dan pestisida nabati. Karena dampak positif pertanian organik dalam jangka panjang sangat menguntungkan.

Teknologi asap cair ini merupakan hasil kondensasi/pengembunan dari uap hasil pembakaran bahan-bahan yang mengandung lignin, selulosa, dan hemiselulosa serta senyawa karbon (C) lainnya seperti tempurung kelapa, sekam, serbuk gergaji, tongkol jagung dan lain-lain. Asap cair ini dihasilkan melalui proses pirolisis yaitu proses dekomposisi atau penguraian bahan organic melalui proses  pemanasan dimana bahan akan mengalami pemecahan struktur kimia menjadi fase gas.

"Kandungan utama  asap cair ini adalah fenol, asam karbamat, asam propionat, asam asetat, asam dodekanoat, asam miristat,  asam palmitat, dan asam organic lainnya. Senyawa fenol dan asam bersifat sebagai antioksidan, menghambat dan mematikan pertumbuhan mikroorganisme dan serangga hama serta menghambat aktivitas makan (anti feedant)," kata Dedi melalui siaran persnya kepada Republika.co.id, Ahad (17/5).

Asap cair yang dihasilkan ini terdiri dari tiga grade. Yaitu, grade tiga merupakan asap cair yang langsung diperoleh dari proses pirolisis yang digunakan sebagai biopestisida, meningkatkan kualitas tanah dan mengontrol pertumbuhan tanaman, mempercepat pertumbuhan pada akar, batang, umbi, daun, bunga, dan buah, pengolahan karet, penghilang bau dan pengawet kayu agar tahan terhadap rayap. 

Bahkan di BBPP Ketindan sudah membuktikan bahwa asap cair mampu digunakan untuk mengendalikan jamur Colletotrichum capsici penyebab penyakit antraknose, serangan hama Spodopteralitura, walang sangit, burung dan juga tikus.

Grade dua merupakan produk turunan yang digunakan untuk pengawet makanan sebagai pengganti formalin dengan aroma asap berwarna kecoklatan transparan, rasa asam sedang, aroma asap lemah. Cara penggunaan asap cair grade 2 untuk pengawetikan/daging adalah celupkan bahan yang telah dibersihkan kedalam 25 persen asap cair dan tambahkan garam.

Biasanya bahan yang diawetkan dengan menggunakan bias bertahan selama tiga hari. Dan yang ketiga yaitu grade satu merupakan produk turunan yang digunakan sebagai pengawet makanan siap saji seperti bakso, mie, tahu, nugget, dan lainnya. 

Asap cair ini berwarna bening, rasa sedikit asam, aroma netral dan merupakan asap cair paling baik kualitasnya serta tidak mengandung senyawa yang berbahaya untuk diaplikasikan ke produk makanan. Cara penggunannya adalah tambahkan 15 cc asap cair kedalam 1 liter air, kemudian campurkan larutan tersebut kedalam 1 kg adonan. Produk bisa tahan penyimpanan selama enam hari

Dengan adanya teknologi asap cair ini diharapkan dapat menjadi solusi bagi para pelaku usaha dan masyarakat luas untuk mengurangi penggunaan bahan kimia sintetis dalam pertanian baik di tingkat produsen maupun konsumen. Sehingga, pola hidup sehat menjadi trend baru yang mensyaratkan jaminan terhadap produk pertanian yang berkualitas, aman dikonsumsi, bernutrisi tinggi, ramah lingkungan serta berkelanjutan.

"Pertanian ramah lingkungan memiliki berbagai pilar, yaitu lingkungan, sosial termasuk didalamnya masalah kesehatan dan ekonomi. Lingkungan menjadi alasan utama dalam bertani organik, karena bertani organik dianggap bertani yang ramah lingkungan sebab menggunakan bahan-bahan alami dan tidak menggunakan bahan kimia sintetis, khususnya pupuk dan pestisida, sehingga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan," kata Dedi. 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement