EKBIS.CO, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menginginkan agar proses impor gula dapat lebih sederhana dalam rangka sebagai upaya menstabilkan harga komoditas tersebut di Tanah Air.
"Kalau prosesnya lebih sederhana, realisasi impor gula tentu akan lebih cepat dan harga akan tetap stabil," kata Felippa Ann Amanta di Jakarta, Rabu (3/6). Menurut dia, dengan harga gula yang masih relatif tinggi di pasaran, maka pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap pengurusan izin impor untuk gula.
Ia berpendapat bahwa masih banyak prosedur yang harus dilalui untuk mendapatkan izin impor. Untuk dapat impor, secara umum importir dengan Nomor Induk Berusaha (NIB) yang berlaku sebagai Angka Pengenal Importir (API) harus mendapatkan Surat Persetujuan Impor (SPI) yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan.
Sedangkan untuk mendapat SPI, importir wajib mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Pertanian setelah memenuhi berbagai persyaratan, seperti bukti kepemilikan gudang berpendingin (cold storage) atau fasilitas lainnya. Sementara untuk gula, prosedur impor berbeda untuk gula rafinasi, gula mentah dan gula kristal putih berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 14 Tahun 2020.
"Gula kristal putih hanya bisa diimpor oleh oleh BUMN setelah mendapat penugasan dan kuota dari Kemenko Perekonomian. Proses ini dapat berlangsung dalam waktu yang tidak sebentar karena proses impor yang dilakukan oleh BUMN membutuhkan persetujuan lewat rapat terbatas atau rapat koordinasi," ucapnya.
Sementara itu, gula rafinasi, hanya bisa diimpor industri untuk bahan baku sendiri berdasarkan surat rekomendasi dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian. Rekomendasi ini didapat setelah importir menyerahkan beberapa persyaratan, seperti laporan rencana produksi, laporan realisasi dan laporan pemakaian.
Terakhir, importir umum hanya dapat mengimpor gula mentah untuk diolah menjadi gula kristal putih oleh pabrik gula di Indonesia. Penentuan jumlah gula mentah yang dapat diimpor juga disepakati dalam rapat koordinasi antar kementerian/lembaga.
Setelah transaksi, lanjut Felippa, importir harus mendapatkan Laporan Surveyor (LS) mengenai komoditas yang diimpornya sebagai dokumen kelengkapan kepabeanan. Setelah komoditas yang diimpor masuk ke Indonesia, ia masih harus melewati pemeriksaan dari BPOM dan bea cukai. Semua proses ini dapat berlangsung dalam waktu yang tidak singkat, antara satu hingga tiga bulan.
"Panjangnya proses ini tidak jarang dapat membuat Indonesia kehilangan kesempatan untuk mengimpor saat harga internasional sedang murah. Kalau dikaitkan dengan pandemi COVID-19, Indonesia tentu tidak menyangka negara-negara sumber impor gula, misalnya saja India, sudah membatasi bahkan melarang adanya kegiatan ekspor akibat adanya kebijakan penguncian," paparnya.
Sebagaimana diwartakan, Holding Perkebunan Nusantara optimistis menargetkan 1 juta ton produksi gula selama musim giling tebu tahun ini yang dilaksanakan oleh anak perusahaan yakni PT Perkebunan Nusantara (PTPN) gula.
Direktur Utama Holding Perkebunan Nusantara Muhammad Abdul Ghani menjelaskan pelaksanaan giling tebu tersebut dilaksanakan sesuai jadwal guna mendukung program pemenuhan bahan pokok gula sekaligus menjaga stabilitas harga di masyarakat yang saat ini melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) akibat persediaan stok gula yang kian menipis di tengah kondisi pandemi COVID-19.
Sebelumnya, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso memastikan stabilisasi harga bahan pokok beras dan gula melalui operasi pasar yang dilaksanakan di seluruh Indonesia terus berjalan lancar, meskipun izin impor gula sempat mengalami keterlambatan.
"Berdasarkan pantauan kami, harga beras sudah kembali normal sejak awal kemunculan wabah ini pada awal Maret lalu, sedangkan harga gula mulai terasa normal sejak Bulog melakukan operasi pasar khusus gula secara serentak sejak awal Mei 2020," kata Budi Waseso atau akrab disapa Buwas melalui keterangan di Jakarta, Kamis (21/5).