Sabtu 20 Jun 2020 22:12 WIB

Industri Pariwisata ASEAN Bangun Kepercayaan

Saat ini industri pariwisata mendapat tantangan yang besar.

Rep: Sri Niken Handayani (swa.co.id)/ Red: Sri Niken Handayani (swa.co.id)
.
.

Plt Deputi Bidang Sumber Daya dan Kelembagaan Kemenparekraf/Baparekraf, Frans Teguh mengatakan, pariwisata adalah sektor yang sangat terpukul akibat pandemi.

International Air Transport Association (IATA) memperkirakan, Revenue Passenger Kilometers (RPK) di kawasan Asia Pasifik di 2020 akan turun sebesar 53,8 persen. Ia mengatakan, berhentinya operasional maskapai penerbangan tentu berdampak sangat besar bagi agen perjalanan dan tour operator.

"Kita tidak pernah tahu kapan perjalanan akan kembali dibuka, dan ketika perjalanan itu pun dibuka, kondisinya tentu sangat berbeda. Dibutuhkan pendekatan dan penyesuaian yang baik dari industri,"ujarnya.

Menurutnya, saat ini industri pariwisata mendapat tantangan yang besar dalam pandemi ini. Dibutuhkan kerja sama yang baik antara pemerintah dan industri baik di dalam negeri maupun kawasan untuk dapat membalikkan pandangan jika pariwisata akan menjadi sektor yang membutuhkan waktu paling lama untuk kembali normal. Kolaborasi seluruh pemangku kepentingan pariwisata harus dapat menumbuhkan kepercayaan wisatawan bahwa bepergian di situasi normal baru nantinya dapat tetap memberikan rasa aman dan nyaman.

Deputy of President ASEAN Tourism Association (ASEANTA), Eddy Krismeidi Soemawilaga, mengatakan, setiap negara di ASEAN memiliki situasi yang berbeda dalam menghadapi Covid-19. Meski demikian, kesiapan masing-masing negara dalam memasuki era normal baru pariwisata harus dapat seiring berjalan. Menurutnya, jika menanti kehadiran vaksin masih membutuhkan waktu yang lama, tetapi di saat yang bersamaan, ekonomi di industri ini harus dapat berjalan kembali dengan mengimplementasikan protokol kesehatan yang baik.

"Jadi saya pikir implementasi normal baru adalah hal yang harus dijalankan, sebelum kita dapat memasuki situasi ketika vaksin telah berhasil ditemukan," kata dia.

Kebijakan pemerintah yang memberikan stimulus kepada industri pun juga bisa tetap dijalankan. Karena kepercayaan travelers di masa ini masih sangat lemah. Tidak hanya karena faktor keamanan dan kesehatan, tapi juga daya beli mereka masih rendah. "Sehingga benar-benar bisa memberikan rasa kepercayaan masyarakat yang tinggi. Untuk tahap awal bisa menyasar wisatawan domestik terlebih dahulu,"ujarnya.

Hal senada dikatakan Prof. Dr. Walter Jamieson, MCIP, Academic Consultant dari Thammasat University, Thailand. Menurutnya, saat ini adalah waktu yang tepat bagi industri pariwisata di seluruh negara Asia untuk melakukan penyesuaian. Tidak hanya untuk masa normal baru, tapi juga setelahnya. Karena normal baru hanyalah masa peralihan menuju situasi normal yang sebenarnya ketika vaksin ditemukan.

Industri harus benar-benar memiliki cara-cara baru atau inovasi dalam menarik minat kunjungan wisatawan. "Kini adalah saatnya untuk dapat meningkatkan lagi pengelolaan industri menuju kondisi yang lebih baik, kondisi lingkungan yang lebih baik,"tuturnya.

ASEAN merupakan pasar yang besar untuk pariwisata. Untuk itu penting bagi negara-negara di ASEAN bersama-sama menyiapkan diri dalam mendukung perjalanan wisatawan dalam kawasan.

Konsep travel bubble dinilai menjadi salah satu langkah yang bisa dipersiapkan oleh negara-negara ASEAN. Seperti diketahui, travel bubble sedang diminati oleh beberapa negara dalam merancang perjalanan lintas negara di tengah pandemi. Yakni ketika dua atau lebih negara telah berhasil mengontrol penyebaran virus corona, sepakat untuk menciptakan sebuah koridor perjalanan.

Koridor perjalanan ini akan memudahkan penduduk yang tinggal di dalamnya melakukan perjalanan secara bebas, dan menghindari kewajiban karantina mandiri.

Regional Director APCS & MER & Asia Pacific of IATA, Vinoop Goel mengatakan, IATA telah meluncurkan protokol yang dapat dijadikan panduan seluruh negara di dunia penerbangan dalam menghadapi situasi normal baru. Dalam pengujian COVID-19 di proses perjalanan wisatawan misalnya.

Jika pemerintah suatu negara mewajibkan wisatawan untuk melakukan tes bebas COVID-19, maka pengujian harus memberikan dalam hasil yang cepat dan dilakukan dalam skala besar dengan tingkat akurasi yang tinggi. "Dan dilakukan oleh pejabat kesehatan masyarakat yang terlatih,"jelasnya.

Sementara Direktur Pemasaran Pariwisata Regional I Kemenparekraf/Baparekraf, Vinsensius Jemadu, mengatakan, COVID-19 memang akan mengubah banyak perspektif dan perilaku wisatawan. Hal ini harus benar-benar dapat diantisipasi dengan baik oleh seluruh pemangku kepentingan.

"COVID-19 selain memberikan dampak dalam sisi ekonomi dan lainnya, juga memberikan dampak psikologis yang kuat. Ini harus diantisipasi semua pihak, terutama travel agent dan tour operator," kata Vinsen.

Ia mengatakan saat ini Kemenparekraf telah menyiapkan handbook yang mengacu kepada standar global sebagai panduan teknis untuk pelaku usaha di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. Handbook ini merupakan turunan yang lebih detil dari protokol yang sedang disusun oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berdasarkan masukan dari Kemenparekraf untuk sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.

Dengan diterapkannya protokol ini dengan baik, diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan wisatawan. Hal ini sangat penting karena gaining trust atau confidence adalah kunci dalam percepatan pemulihan, jadi harus sangat diperhatikan dan diimplementasikan.

"Pariwisata adalah tentang image, ketika image negatif yang terbentuk maka (wisatawan) tidak akan ada yang datang, tidak ada yang belanja. Untuk itu apa yang dilakukan Indonesia saat ini dalam protokol kenormalan baru salah satunya adalah untuk meningkatkan kepercayaan pasar," ujar Vinsen.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id

Yuk gabung diskusi sepak bola di sini ...
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan swa.co.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab swa.co.id.
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement