EKBIS.CO, SLEMAN -- Kesehatan jadi kebutuhan mendasar yang tidak bisa dipungkiri setiap orang, terlebih ketika pandemi seperti sekarang. Namun, terbatasnya fasilitas kesehatan, khususnya di pelosok, menjadi kendala besar yang harus dihadapi.
Di Indonesia, belum terpenuhinya alat-alat kesehatan oleh industri dalam negeri turut memaksa impor secara besar dilakukan. Seiring masalah tersebut, banyak bermunculan startup yang bergerak di bidang teknologi kesehatan.
CFO PT. Putra Medikaltek (produsen Algist), Hasyim Abdulloh mengatakan, serba impornya alat kesehatan, tinggnya angka kematian ibu dan anak serta stunting jadi alasan utama membangun startup di bidang teknologi kesehatan.
Ia berpendapat, sebenarnya ada ancaman generasi yang hilang (lost generation) di sana. Dengan tingginya angka kematian ibu dan anak serta stunting, Abraham melihat ada ancaman serius kepada Indonesia pada 2030 sampai 2045.
"Pada 2030-2045, di mana kita mendapatkan limpahan umur produktif itu (bonus demografi) tapi 30 persennya tidak bisa berkompetisi dalam dunia kerja karena masalah ini," kata Abraham dalam Kopi Chat: Ngobrol Bareng Startup dari Inkubasi Bisnis dan Inovasi Bersama Universitas Islam Indonesia (Ibisma UII).
Abraham mengungkapkan, terciptanya Alarm Gas Medis Digital (Algist) berawal pula dari kebutuhan RS yang kala itu cuma mengandalkan produk impor. Hal ini mendorong lulusan Teknik Elektro UII itu bersama tim mencoba membuat sendiri.
Hasyim berharap, produk-produk lokal di bidang kesehatan bisa menjadi pilihan prioritas. Sehingga, ketika menemui kondisi ada produk kesehatan serupa yang merupakan produk lokal dan impor, pemerintah bisa memilih produk lokal."Biar kita dukung produk lokal dan sama-sama maju berkembang," ujar Hasyim.
Dorongan hampir serupa diungkapkan Co-Founder Sehati TeleCTG, Abraham Auzan, yang membangun startup berdasarkan permintaan langsung pasar. Ia mewujudkan produknya bersama dua dokter spesialis kandungan yang memahami permasalahan.
Sehati TeleCTG merupakan CTG (Cardiotography) dalam versi portable. CTG itu berfungsi mengetahui detak jantung janin dalam kandungan. Umumnya, alat itu memang tidak digunakan kepada kondisi kehamilan karena beresiko.
Alat ini jadi jawaban sulitnya layanan kesehatan di pelosok, dan terbatasnya jumlah dokter kandungan yang kebanyakan ada di kota-kota besar. CTG pertabel ini memudahkan dokter yang memeriksa karena bisa dilakukan jarak jauh."Butuh banyak solusi dan alternatif di dunia kesehatan. Masalah impor ini sebenarnya jadi peluang bagi kita yang memiliki semangat nasionalis, kenapa teknologi tidak bisa datang dari karya anak bangsa sendiri," kata Abraham.
Selain itu, ia menyarankan, pemerintah mampu menyiapkan infrastruktur yang lebih mendukung bagi produsen alat kesehatan ataupun startup dari dalam negeri. Sehingga, ada dorongan yang bisa membantu mereka berkembang."Memudahkan untuk kita bisa mengembangkan dari sisi perizinan, juga dari sisi rantai pasokan," ujar Abraham.