Rabu 15 Jul 2020 19:08 WIB

Ekonom Sebut Surplus Dagang Indonesia Masih Belum Sehat

KInerja ekspor maupun impor Indonesia sama-sama mengalami penurunan.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Ekspor impor
Foto: Republik
Ekspor impor

EKBIS.CO, JAKARTA -- Kinerja perdagangan yang mengalami surplus sepanjang semester pertama 2020 dinilai masih belum sehat. Pasalnya, baik ekspor maupun impor sama-sama mengalami penurunan yang mencerminkan adanya pelemahan aktivitas ekonomi.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan, menuturkan, meski khusus pada bulan Juni 2020 ekspor dan impor meningkat, kumulatif satu semester tetap mengalami pelemahan dibanding semester pertama tahun lalu.

Baca Juga

"Tidak ada prestasi disitu dan ini tidak baik. Kecuali kalau impor naik, ekspor naik lebih tinggi," kata Abdul kepada Republika.co.id, Rabu (15/7).

Ia mengatakan, hal itu mencerminkan belum ada perbaikan fundamental bagi neraca perdagangan. Disatu sisi persoalan dari sisi ekspor Indonesia pun masih tetap sama, yakni berkutat pada komoditas mentah yang harganya cenderung fluktuatif ditentukan pasar dunia.

Menurut dia, posisi tawar dalam perdagangan dapat kuat jika Indonesia sudah mengandalkan produk manufaktur atau barang jadi. Hal itu tentunya secara perlahan membawa Indonesia untuk memperkuat kinerja perdagangan dan membuat surplus perdagangan dengan sehat.

Di sisi lain, Abdul menekankan, impor Indonesia juga masih belum sehat. Pasalnya, kenaikan impor barang konsumsi kerap mengalami lonjakan. Hal itu dipicu oleh e-commerce yang mempermudah masyarakat berbelanja produk dari luar negeri. Ditambah, impor bahan pangan akibat masalah produksi di dalam negeri.

"Impor dapat dikatakan bagus kalau yang meningkat adalah bahan baku untuk produksi," kata dia.

Adapun hingga akhir tahun ini, ia menilai masih cukup sulit bagi Indonesia untuk bisa mencapai surplus perdagangan dengan sehat. Sebab, permintaan akan komoditas mentah juga tengah menurun akibat pelemahan ekonomi global. Belum lagi, persoalan sengketa perdagangan yang masih harus dibereskan Indonesia di WTO.

Sementara itu, Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan, Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir, mengatakan, kinerja yang dicapai saat ini tetap menunjukkan sinyal positif. Pasalnya, neraca dagang pada tahun lalu mengalami defisit.

Ia menilai, langkah yang perlu dilakukan pemerintah yakni dengan mempercepat implementasi program pemulihan ekonomi nasional. Di saat yang bersamaan, membuka kegiatan ekonomi namun dengan pendampingan protokol kesehatan Covid-19 yang ketat agar adaptasi kebiasaan baru dapat berjalan lancar.

"Ini saya kira dapat menjaga kepercayaan pasar," katanya.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kinerja neraca perdagangan Indonesia sepanjang semester I 2020 mengalami surplus. Capaian itu berbalik dari kondisi neraca perdagangan semester I 2020 yang defisit.

Kepala BPS, Suhariyanto, menyampaikan, neraca dagang surplus sebesar 5,5 miliar dolar AS selama Januari hingga Juni 2020. Sementara di termin sama tahun lalu, neraca perdagangan defisit hingga 1,87 miliar dolar AS.

"Ini jauh lebih baik dari pada tahun lalu. Kita harapkan ini menunjukkan sinyal positif," kata Suhariyanto.

Mengutip data BPS, kinerja ekspor sepanjang Januari-JUni 2020 mencapai 76,4 miliar dolar AS sedangkan impor hanya 70,9 miliar dolar AS sehingga diperoleh surplus 5,5 miliar dolar AS.

Pada sektor perdagangan migas mengalami defisit sebesar 3,5 miliar dolar AS. Sebab, ekspor migas hanya mencapai 3,9 miliar dolar AS sedangkan impor tembus hingga 7,5 miliar dolar AS.

Namun, di sektor nonmigas mampu mencatatkan surplus 9,05 miliar dolar AS. Di mana ekspor nonmigas mencapai 72,4 miliar dolar AS sementara impor lebih rendah yakni 63,9 miliar dolar AS.

Lebih lanjut, Suhariyanto mengatakan, ekspor pada semester I tahun ini paling banyak disumbang doleh ekspor non migas khususnya bahan bakar mineral sebesar 9,37 miliar dolar AS. Ekspor komoditas tersebut berkontribusi hingga 12,94 persen terhadap total ekspor. Selanjutnya diikuti dengan ekspor lemak dan minyak hewan/nabati senilai 8,94 miliar dolar AS dengan porsi 12,34 persen.

Pangsa ekspor terbesar masih ke Cina yakni 17,7 persen dengan nilai mencapai 12,83 miliar dolar AS. Diikuti Amerika Serikat sebesar 8,59 miliar dolar AS dan Jepang 6,29 miliar dolar AS.

Kemudian pada sisi impor, Suhariyanto menyatakan impor terbesar semester I 2020 terbesar adalah mesin dan peralatan mekanis senilai 10,83 miliar dolar AS atau 17,09 persen dari total impor. Selanjutnya masih dari mesin dan perlengkapan elektrik sebesar 13,78 persen atau senilai 8,73 miliar. 

Menurut Suhariyanto, kinerja ekspor dan impor Indonesia tetap berpeluang untuk terus dalam tren positif. Namun, itu kembali kepada kegiatan masyarkat di dalam negeri di tengah pandemi Covid-19. "Kita tahu, pemerintah mengutamakan kesehatan, tapi kita juga jaga keseimbangan supaya aktivitas ekonomi berjalan," katanya.

Ia menuturkan, sejak pemerintah menerapkan work from home, BPS melakukan survei perubahan mobilitas penduduk. Aktivitas di rumah tentunya mulai meningkat ketimbang aktivitas di tempat kerja. Sebaliknya, aktivita di tempat kerja mulai meningkat ketika pemerintah mulai menerapkan work from office di masa kenormalan baru.

Meski masih dibutuhkan waktu agar aktivitas seperti normal, hal itu setidaknya akan berdampak pada naiknya aktivitas ekonomi yang berimbas pada neraca perdagangan. Hanya saja, dari aspek tersebut, kunci agar tetap aman adalah menjaga protokol kesehatan.

"Masyarakat tidak bisa anggap enteng protokol kesehatan sehingga kita tetap bisa (beraktivitas). Mudah-mudahan ekonomi kita bergeliat," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement