Selasa 21 Jul 2020 12:19 WIB

CORE: Indonesia akan Alami Resesi Pertama Sejak 1998

Resesi didorong kontraksi terhadap permintaan.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Resesi ekonomi.
Foto: Tim Infografis Republika.co.id
Resesi ekonomi.

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menyebutkan, ancaman resesi sudah di depan mata meskipun pemerintah sudah memberlakukan kebijakan normal baru sejak Juni. Apabila benar terjadi, ini akan menjadi resesi ekonomi pertama sejak 1998.

"Walau saat ini memang belum masuk resesi, tapi kita perkirakan kontraksi ekonomi terjadi pada kuartal kedua dan ketiga," kata Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal dalam diskusi online bertajuk CORE Mid Year Review 2020, Rabu (21/7).

Baca Juga

Faisal mengatakan, kondisi tersebut sangat dimengerti mengingat pertambahan jumlah kasus di Indonesia yang terus meningkat. Tren ini terus terjadi bahkan sejak diterapkan pada bulan lalu.

Secara keseluruhan, Faisal menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2020 akan mengalami kontraksi 1,5 persen hingga tiga persen. Skenarionya masih sangat tergantung pada penanganan pandemi Covid-19 dan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Pertumbuhan akan minus 1,5 persen apabila puncak pandemi Covid-19 terjadi pada kuartal ketiga dan pemerintah tidak memberlakukan kembali PSBB. Tapi, jika kasus baru Covid-19 terus meningkat, bahkan sampai kuartal keempat, yang ditambah dengan pemberlakuan kembali PSBB, maka kontraksi akan semakin dalam hingga tiga persen.

Faisal mengatakan, kontraksi terdalam akan terjadi pada kuartal kedua. "Antara minus empat hingga enam persen," tuturnya.

Krisis kali ini terutama dikarenakan adanya kontraksi terhadap sisi permintaan, berbeda dengan kekhawatiran pada awal pandemi Covid-19, yaitu gangguan pada sisi ketersediaan.

Pelemahan permintaan terlihat jelas pada indikator indeks penjualan riil yang menggambarkan sektor riil di Indonesia. Indikatornya mengalami kontraksi sangat tajam, sejak wabah terjadi, yakni sekitar minus 16 persen. Bahkan, pada Mei, tingkatnya sampai menyentuh minus 20,6 persen.

Ketika normal baru diberlakukan, sempat diprediksi indeks penjualan riil ini akan membaik. Tapi, Faisal mengatakan, realisasinya akan sangat sulit mengingat banyak orang masih menahan konsumsi. "Kontraksinya tetap double digit, kita prediksi di angka minus 14 persen," ujarnya.

Kontraksi permintaan terlihat pada masyarakat golongan menengah ke bawah. Dari data yang dipaparkan Direktur Riset CORE Piter Abdullah, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) di bawah Rp 100 juta melambat sangat tajam pada Mei, mengindikasikan pelemahan daya beli kelompok tersebut.

Salah satu penyebabnya adalah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di banyak perusahaan. "Mereka harus menjaga tingkat konsumsinya dengan menggunakan tabungan. Dan itu menggerus jumlah tabungan yang nilainya di bawah," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement