Selasa 21 Jul 2020 16:32 WIB

Neraca Dagang Indonesia Diprediksi Surplus 8 Miliar Dolar AS

Pada semester I 2020, neraca dagang Indonesia surplus 5,5 miliar dolar AS.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Neraca perdagangan
Foto: Tim infografis Republika
Neraca perdagangan

EKBIS.CO, JAKARTA -- Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memprediksi, neraca perdagangan Indonesia sampai akhir tahun akan mengalami surplus hingga 8 miliar dolar AS. Tapi, surplus lebih diakibatkan penurunan kinerja impor dibandingkan tahun lalu, terutama pada barang modal dan bahan baku/ penolong.

Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal mengatakan, situasi yang disebut sebagai surplus ‘semu’ ini sudah terjadi sejak semester pertama. Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia surplus 5,5 miliar dolar AS yang dikarenakan laju penurunan impor menurun lebih cepat dibandingkan peningkatan ekspor.

Baca Juga

Faisal memperkirakan, surplus tersebut akan menyempit pada semester kedua, seiring dengan pemberlakuan normal baru. Aktivitas ekonomi domestik akan sedikit bergerak dan membaik secara month-to-month, sehingga mendorong kinerja impor.

"Ini kemudian menyempitkan surplus, namun secara full year tetap surplus pada level 8 miliar dolar AS," katanya dalam konferensi pers CORE Mid Year Review secara virtual, Selasa (21/7).

Kontraksi impor menjadi hal yang tidak bisa ditampik pada tahun ini, terutama pada bahan baku/ penolong dan barang modal. Sebab, Faisal menjelaskan, terjadi penurunan aktivitas dalam negeri dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tren tersebut juga sejalan dengan Purchasing Manager Index yang mengalami kontraksi dalam, di bawah batas aman 50.

Di sisi lain, Faisal mengatakan, ada prediksi baik pada ekspor. Kinerja ekspor diprediksi akan menggembirakan karena pemulihan ekonomi di beberapa negara produsen, termasuk China. Harga komoditas pertanian pun membaik pada waktu-waktu terakhir, meski pertumbuhan secara tahunan masih lebih rendah dibandingkan 2019.

Perbaikan juga diperkirakan terjadi pada investasi yang kini tertekan karena penundaan belanja modal pemerintah, termasuk BUMN. Ketika pandemi terjadi, tren relokasi investasi manufaktur keluar terus terjadi. "Ini bisa menjadi peluang kita untuk menarik investasi ke sini," tutur Faisal.

Hanya saja, masih banyak hambatan untuk merealisasikannya. Di antaranya, Ease of Doing Business (EoDB) dan indeks kompetitif yang rendah karena birokrasi terlalu rumit. Merujuk pada survei JETRO, Indonesia menduduki posisi terendah sebagai negara tujuan relokasi investasi perusahaan Jepang yang ingin keluar dari China.

Faisal mengatakan, tantangan ke depan adalah bagaimana sisi produksi dapat berjalan ketika permintaan mengalami penurunan. Apabila pandemi Covid-19 berkepanjangan, tren ini dapat menyebabkan tekanan pada pertumbuhan ekonomi. "Bukan hanya tahun ini, juga beberapa tahun ke depan," ujarnya.

Situasi tersebut menjadi tantangan tim pemulihan ekonomi pemerintah yang baru dibentuk Presiden Joko Widodo. Khususnya bagaimana ekonomi dan kesehatan berjalan seiring ketika aktivitas ekonomi terus dibuka.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement