EKBIS.CO, JAKARTA -- Serapan belanja yang merupakan kemampuan pemerintah dalam merealisasikan anggaran belanja dalam rangka melaksanakan program dan kegiatan sebagaimana tertuang pada rencana kerja, secara khusus untuk stimulus pemulihan ekonomi nasional merupakan masalah yang dihadapi oleh banyak negara saat ini, tak terkecuali Indonesia. Ekonom dari LPEM FEB UI, Teuku Riefky mengatakan dalam implementasinya, terdapat trade-off antara ketepatan (precision) dan kecepatan (swiftness) di mana pemerintah harus menentukan keseimbangan yang tepat antara keduanya.
“Kalau mau cepat, ya ketepatannya kurang dan jika ingin tepat bisa jadi pengimplementasiannya jadi lebih lambat. Jadi pemerintah harus mengukur kira-kira pos mana yang lebih butuh kecepatan dan mana yang lebih butuh ketepatan,” ujar Riefky kepada //Republika.co.id, Selasa (28/7).
Menurut Riefky, salah satu pos stimulus yang membutuhkan kecepatan dalam pelaksanaannya adalah bantuan sosial (bansos) karena ini menyangkut kebutuhan dasar banyak orang. Dengan diimplementasikan secara cepat, masyarakat dapat menjalani hidup yang layak.
Riefky mengatakan tidak dapat dipungkiri akibat dibutuhkan cepat, maka dalam pelasanaannya masih ditemukan exclusion dan inclusion error. Namun, ia menilai pemerintah sudah tepat dalam melakukannya dan seiring berjalannya program, akurasi dapar ditingkatkan akurasinya.
Sementara itu, Riefky mengatakan pos yang lebih membutuhkan ketepatan sebagai contoh adalah pembiyaan korporasi, di mana harus berhati-hati dalam proses seleksi dan formulasi. Hal ini untuk menghindari hal-hal seperti pemerintah memberikan bantuan kepada perusahaan-perusahaan yang tidak membutuhkan atau memberi subsidi perusahaan yang tidak dapat mendorong proses pemulihan ekonomi.
Lebih lanjut, Riefky mengatakan dilihat dari porsi serapan belanja yang ada, sepertinya fokus dalam konteks kecepatan dan ketepatan sudah dilakukan cukup baik oleh pemerintah. Ia mengatakan hal ini dapat terlihat dengan pos penyerapan tertinggi adalah perlindungan sosial (11,2 persen) dan Usaha Mikro Kecil Menengah (24,42 persen).
“Tetapi, dukungan ke korporasi masih nol persen, sejalan dengan pendapat saya bahwa memang ini butuh perumusan yang ekstra hati-hati,” jelas Riefky.
Riefky menuturkan jika melihat secara holistik terhadap program stimulus ekonomi, perlu dipahami bahwa ini bukanlah paket yang sekali pakai atau dalam satu bulan sudah habis. Sebaliknya, ini adalah paket yang sudah diukur kecukupannya dalam menangani keseluruhan periode selama masa krisis, yakni seperti saat ini terjadinya pandemi virus corona jenis baru (Covid-19).