Kamis 30 Jul 2020 06:33 WIB

Kisah Paspor Hopper dan Masa Depan Blok Rokan

Minyak bumi di Riau baru ditemukan pada sekitar 1939.

Red: Nidia Zuraya
Blok Rokan, Riau
Foto: migas.bisbak.com
Blok Rokan, Riau

EKBIS.CO, PEKANBARU -- Sebuah surat yang ditulis oleh Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia H Agus Salim pada September 1946 menjadi relik unik dalam sejarah industri minyak bumi di Indonesia. Surat itu diawali dengan kalimat Basmallah dengan huruf Arab, dilanjutkan dengan kata 'Merdeka'.

Inti surat itu adalah mengizinkan Richard H Hopper untuk datang dan beraktivitas di Sumatera Bagian Tengah yang kini menjadi Provinsi Riau. Kondisi keamanan saat itu masih belum menentu. Perang Dunia II baru berakhir. Republik Indonesia juga masih sangat muda.

Baca Juga

Namun, siapa sebenarnya Richard H Hopper, yang dalam surat Agus Salim itu disebut dari 'perusahaan minyak tanah di Pekan Baru'?

Hopper adalah seorang geolog atau ahli batuan asal AS. Dalam bukunya berjudul Ribuan Tahun Sumatera Tengah ~ Sejarah Manusia, Rempah, Timah & Emas Hitam (2016), Hopper menuliskan bahwa Belanda mulai mengembangkan sektor pertambangan pada 1887 dengan menerbitkan konsesi tambang timah di Sungai Tapung Kiri dan Tapung Kanan.

Semula, keberadaan minyak bumi di Sumatera Tengah sempat diragukan. Minyak bumi di Riau baru ditemukan pada sekitar 1939. Produksi secara komersial baru dimulai pada 1952 karena kondisi perang dan politik pada masa-masa itu.

Penemuan cadangan minyak di Sumatera Tengah bisa dikaitkan dengan perusahaan Standard Oil Company of California (Socal), sekarang bernama Chevron Corporation. Tim eksplorasi Socal berangkat ke Indonesia pada 1924 dan Teluk Arab pada 1928.

Pada era 1930-an, tidak ada satu pun perusahaan minyak yang tertarik dengan bagian timur kawasan Sumatera Tengah mengingat kawasan tersebut berupa hutan dan rawa sehingga sulit untuk melakukan penyelidikan geologis. Wilayah ini memiliki curah hujan berkisar 100 inchi, setara 250 cm per tahun. Humusnya sangat dalam, belum lagi relief topografinya yang sangat rendah.

Endapan lapisan minyak di Sumatera Tengah dinilai sangat tipis jika dibandingkan Sumatera Utara dan Selatan. Menurut peta yang dibuat seorang ahli geologi Belanda terkemuka pada 1930, bagian tengah daerah Riau mengandung lapisan endapan batuan granit yang amat besar. Hal ini merupakan indikasi negatif, bahwa upaya pencarian hidrokarbon (atau migas) di daerah ini akan sia-sia belaka.

Tahun 1939, California Texas Oil Corporation (Caltex) mengirim Hopper untuk melakukan penelitian lanjutan. Caltex merupakan hasil merger Socal dan Texaco pada 30 Juni 1936.

Hopper merupakan pria yang antusias dan penuh semangat. Bahkan, dia mau mengebor menggunakan bor tangan (counterflush) untuk menembus kedalaman 460 meter. Hingga akhirnya, Hopper dan timnya berkesimpulan ada petunjuk kuat, cembungan besar dan berlipat-lipat di bawah bumi Minas.

Minas kemudian menjadi lokasi pengeboran pertama sumur minyak di Riau. Pompa angguk tua peninggalan dari masa eksploitasi ladang minyak itu, kini menjadi monumen yang masih bisa dilihat di tepi Jalan Lintas Timur Sumatera.

Meletusnya Perang Dunia II, membuat menara bor yang telah berdiri di Minas terpaksa ditinggalkan pada 1942. Para pekerja dipulangkan.

Meski sudah 18 tahun beraktivitas di Sumatera Tengah, secara komersial Caltex belum menghasilkan minyak setetes pun. Selama itu, tim Caltex–-yang sebelumnya Socal--bertualang di tengah hutan belantara yang ganas, penuh nyamuk, buaya, harimau dan gajah.

Saat Nusantara dikuasai Jepang, seorang geolog muda bernama Toru Oki melanjutkan pengeboran Caltex yang ditinggalkan di Minas. Pada 1944, mereka berhasil. Semburan minyak pertama itu menandakan bahwa mereka berhasil menemukan lapisan minyak di kedalaman 800 meter.

Namun, pada Agustus 1945 Perang Dunia II berakhir. Jepang yang kalah perang harus hengkang.

Kerja Sama Unik

Usai perang, Caltex berupaya masuk lagi ke Indonesia untuk meneruskan pencarian minyak. Surat yang ditulis Agus Salim menjadi semacam 'paspor' bagi Hopper. Secarik kertas itu menentukan peristiwa penemuan ladang minyak terbesar, yang disebut Blok Rokan.

Pada September 1946, Hopper berhasil mencapai Padang, untuk menuju Pekanbaru dan Minas. Namun, markas besar tentara Inggris di Padang tidak mengizinkan. Kala itu, pertempuran antara laskar RI dan tentara Belanda sedang sengit-sengitnya.

Akhirnya, Hopper meminta bantuan Brigadir Hutchinson (komandan brigade Inggris yang bertanggung jawab atas keamanan wilayah Sumatera Tengah) dan Kolonel Tsushima (perwira penghubung Jepang untuk Inggris) agar mengusahakan contoh batuan dan minyak mentah dari sumur minyak Minas, lengkap dengan laporan harian dan hasil dari uji produksi sumur tersebut.

Dalam dua minggu, semua pesanan Hopper tiba di Padang. Ini merupakan suatu hasil kerja sama yang unik di antara orang-orang dari pihak yang sebenarnya sedang berperang. Seperti Brigadir Hutchinson (Inggris), Kolonel Tsushuma (Jepang), Hopper (Amerika), dan sejumlah warga Indonesia di Jakarta dan Sumatera.

Setelah dikaji, perusahaan memutuskan untuk melanjutkan kegiatan di Minas sebab minyak mentah tersebut punya kadar belerang yang sangat rendah. Nama Minas Crude atau Sweet Crude, dengan resmi Sumatran Light Crude (SLC), menjadi komoditi yang diminati negara-negara industri maju. Setelah gencatan senjata Indonesia-Belanda pada 1949, Caltex memacu pengeboran di Lapangan Minas.

Sejarah akhirnya mencatat bahwa Sumatera Tengah, yang kini menjadi Provinsi Riau, merupakan salah satu penghasil minyak bumi yang dikenal dunia. Caltex Pacific Oil Company (CPOC) menjadi cikal bakal PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI).

Pada 23 Agustus 1963, PT CPI didirikan sebagai badan hukum untuk mengelola aset CPOC. Pada September 1963, perjanjian Kontrak Kerja 20 tahun disepakati dan ditandatangani antara PT CPI dan PN Pertamina (Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Nasional).

Peralihan Blok Rokan

PT CPI bertindak sebagai kontraktor dari Pemerintah Indonesia dan mengelola aset-aset milik negara di industri hulu migas. Dalam mengoperasikan blok migas, PT CPI bekerja di bawah pengawasan dan pengendalian pemerintah yang saat ini diwakili SKK Migas berdasarkan kontrak bagi hasil atau Production Sharing Contract (PSC).

Sejak pertama kali berproduksi pada awal 1950-an, lapangan-lapangan migas di Riau yang dikelola PT CPI telah memberikan kontribusi terhadap produksi nasional lebih dari 12 miliar barel secara kumulatif, termasuk dari lapangan minyak raksasa Minas dan Duri yang menjadi bagian dari Blok Rokan.

Setelah hampir satu abad setelah ekspedisi pertama ke Sumatera Bagian Tengah hingga akhirnya PT CPI mengelola Blok Rokan, Pemerintah Indonesia pada 2018 memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak perusahaan itu yang habis pada 2021. Kementerian ESDM mengumumkan PT Pertamina (Persero) sebagai pengelola selanjutnya.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam kunjungan kerjanya di Kota Pekanbaru, Riau, tak lama setelah pengumuman itu mengatakan, pengelolaan Blok Rokan harus memberikan manfaat bagi kemakmuran rakyat khususnya di Riau.

Luas Blok tersebut mencapai 6.220 kilometer persegi dan diyakini memiliki cadangan minyak mencapai 500 juta hingga 1,5 miliar barel oil equivalent.

“Jangan sampai saya dengar lagi ada laporan, daerah tak dapat apa-apa,” kata Jokowi.

Meski begitu, masa transisi Blok Rokan tidak semudah yang banyak orang bayangkan. Produksi minyak di ladang minyak itu bisa anjlok apabila perahilan tidak berjalan mulus. Apalagi, kondisi industri kini dibayangi tekanan dari fluktuasi harga minyak dan resesi ekonomi global dampak dari pandemi Covid-19.

Dan tidak bisa dipungkiri, penerapan teknologi injeksi uap (steamflood) PT CPI di Duri dan teknologi injeksi air di Minas selama ini mampu mengoptimalkan produksi dan memperpanjang usia lapangan-lapangan tersebut. Duri menjadi salah satu proyek enhanced-recovery steamflood terbesar di dunia.

Dengan teknologi uap, Lapangan Duri mampu menghasilkan minyak lima kali lebih banyak. Sementara Lapangan Minas menjadi lapangan minyak terbesar yang pernah ditemukan di Asia Tenggara.

Karena itu, Pemerintah Indonesia tidak menutup upaya negosiasi dengan PT CPI agar mau tetap berinvestasi hingga Agustus 2021.

“Kami belajar dari kasus (Blok) Mahakam, saat itu Pertamina ambil alih dari Total, dan ketika diambilalih, produksinya turun drastis. Nah, kita berusaha hal itu tidak terjadi di Rokan dengan cara nego dengan Chevron. Akhirnya kami sudah hampir sampai mencapai kesepakatan di mana Chevron bisa terus investasi sampai Agustus 2021,” kata Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Maritim dan Investasi (Marves), Purbaya Yudhi Sadewa pada jumpa pers virtual di Jakarta pada Juni 2020.

Perjalanan industri migas dengan segala dinamikanya telah membentuk Indonesia, khususnya Riau hingga seperti sekarang. Banyak hal sudah dilalui, yang menguras tenaga, menguji kesabaran, dan mungkin juga air mata.

Bukan suatu hal yang haram kita belajar dari sejarah 'paspor' Hopper, yang intinya kita membutuhkan kerja sama dengan pihak lain untuk mengelola Blok Rokan.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement