Ahad 09 Aug 2020 18:35 WIB

'Gaji ke-13 dan Subsidi Gaji tak Cukup Naikkan Konsumsi' 

Masyarakat akan terdorong untuk belanja saat Covid-19 bisa dikendalikan.

Rep: Sapto Andika Candra / Red: Ratna Puspita
Karyawan menata pakaian yang dijual di salah satu toko (ilustrasi). Saat Covid-19 benar-benar bisa dikendalikan nanti, konsumsi baru bisa pulih sepenuhnya.
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Karyawan menata pakaian yang dijual di salah satu toko (ilustrasi). Saat Covid-19 benar-benar bisa dikendalikan nanti, konsumsi baru bisa pulih sepenuhnya.

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Dua insentif terbaru yang akan digelontorkan pemerintah dianggap tak cukup ampuh menggenjot konsumsi rumah tangga di kuartal III 2020. Dua insentif, yakni gaji ke-13 untuk PNS dan bantuan atau subsidi bagi pekerja bergaji kurang dari Rp 5 juta.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan hal tersebut disebabkan psikologis masyarakat yang belum pulih sepenuhnya untuk melakukan spending atau belanja di tengah pandemi Covid-19 yang tak kunjung mereda. Ia berpandangan, kekhawatiran terhadap Covid-19 masih menghantui kelas menengah-atas yang menguasai 73 persen total pengeluaran nasional. 

Baca Juga

Akibatnya, ia mengatakan, kelompok ini masih memilih untuk menunda belanja. Ketidakpastian ekonomi juga menambah kecenderungan mereka untuk mengerem pengeluaran. 

Alasan lainnya, belum normalnya aktivitas sekolah juga membuat pencairan gaji ke-13 tidak efektif secara penuh. Biasanya, gaji ke-13 memang ditujukan untuk membantu para orang tua memenuhi kebutuhan sekolah anak-anak mereka. 

"Tapi kan sekolah sedang tidak normal. Biasa buat beli seragam dan buku misalnya jadi kurang optimal tahun ini karena pandemi. Otomatis uang gaji ke-13 lebih banyak ditabung untuk dana darurat," kata Bhima, Ahad (9/8). 

Kondisi ini pun membuat para pekerja kelas menengah, PNS, dan pegawai non-PNS yang menerima instentif ini diprediksi cenderung menaikkan simpanannya di bank ketimbang berbelanja. Artinya, bantuan pemerintah bagi pekerja bergaji di bawah Rp 5 juta dan gaji ke-13 justru akan lebih banyak disimpan dibanding mengalir untuk konsumsi. 

"Trennya akan ada kenaikan saving di bank. Begitu juga dengan stimulus untuk pekerja," jelasnya. 

Lantas kapan masyarakat akan terdorong untuk belanja? Bhima melihat kuncinya adalah pada penanganan Covid-19. Saat Covid-19 benar-benar bisa dikendalikan nanti, konsumsi baru bisa pulih sepenuhnya. Artinya, ujar Bhima, pemerintah tetap harus fokus pada penanganan kesehatan tanpa harus buru-buru melonggarkan dan membuka kembali berbagai aspek ekonomi. 

"Jangan buru buru pelonggaran. Skema insentif untuk korban PHK juga lebih penting. Yang pekerja mendapat cash transfer, harusnya yang di-PHK santunannya lebih besar lagi," jelasnya. 

Bhima sekaligus mengkritik program Kartu Prakerja yang masih belum tepat sasaran. Menurutnya, alih-alih melakukan membuka pendaftaran, seharusnya pemerintah langsung mendata para pekerja yang terkena PHK dan langsung memberikan bantuan secara tunai kepada mereka. 

"Dananya bisa didapat dengan menggeser anggaran kartu pra kerja," katanya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement