EKBIS.CO, JAKARTA -- Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dzulfian Syafrian mengatakan sudah saatnya Indonesia menggenjot perdagangan internasional berbasis nilai. Selama ini perdagangan Indonesia didominasi oleh komoditas barang mentah yang nilai tambahnya rendah.
“Salah satunya adalah dengan meningkatkan kerja sama dengan negara lain, khususnya menarik investor yang mau berinvestasi dalam rantai nilai ini,” kata Dzulfian saat menggelar seminar web bertajuk ‘Mungkinkah Investasi dan Perdagangan di tengah Ancaman Resesi’, Rabu (12/8).
Dzul mencontohkan, untuk produk kelapa sawit, selama ini Indonesia hanya menjadi basis perkebunan kelapa sawit untuk diambil bijinya dan kemudian diolah menjadi minyak mentah sawit, yang artinya hanya ada satu nilai tambah di sana.
Padahal, lanjut Dzul, rantai nilai produk sawit masih panjang, di mana produk tersebut memiliki turunan-turunan produk lainnya yang nilai tambahnya lebih tinggi. Untuk itu, penting mencari investor yang mau memproduksi produk minyak sawit mentah menjadi berbagai produk yang memiliki nilai tambah di Indonesia.
“Kalau tidak, Indonesia akan terjebak dalam komoditas rendah, nilai tambah rendah, dan kita tidak akan bisa naik kelas menjadi negara maju seperti negara lain,” ujar Dzul.
Di era rantai pasok global, Dzul menambahkan, para investor di negara-negara maju dapat meletakkan kantor pusat dan pusat pengembangannya di negara asal mereka, namun proses produksi yang mereka miliki berada di negara lain.
“Itulah kenapa Apple meletakkan kantor pusat, pusat penelitian, yang memang nilai tambahnya tinggi itu ada di Silicon Valley, di negaranya. Tapi, untuk yang nilai tambahnya rendah, seperti proses produksinya ada di China, bahkan Vietnam,” ujar Dzul.
Hal tersebut, lanjut dia, merupakan peluang bagi Indonesia untuk menarik investor asing meletakkan proses produksinya di tanah air.