EKBIS.CO, JAKARTA -- Penerimaan pajak sampai akhir Juli mengalami kontraksi 14,7 persen dibandingkan tahun lalu, menjadi Rp 601,9 triliun. Perlambatan ekonomi akibat Covid-19 dan pemanfaatan insentif fiskal dalam rangka pemulihan ekonomi nasional menjadi faktor utama pertumbuhan negatif tersebut.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, realisasi penurunan penerimaan pajak sampai akhir Juli lebih buruk dibandingkan perkiraan pemerintah. Sebelumnya, ia pernah menyebutkan, penerimaan pajak ditargetkan mengalami kontraksi 10 persen sampai akhir tahun.
"Ini lebih dalam dari yang kami perkirakan. Ini sesuatu yang harus diperhatikan dari sisi faktor-faktor penerimaan pajak," tuturnya dalam paparan kinerja APBN secara virtual pada Selasa (25/8).
Apabila dilihat lebih rinci, penerimaan pajak penghasilan (PPh) minyak dan gas (migas) mengalami kontraksi signifikan, yaitu 44,3 persen dibandingkan tahun lalu, menjadi Rp 19,8 triliun. Sri mengatakan, penurunan dikarenakan realisasi harga minyak Indonesia dan lifting migas yang lebih rendah dibandingkan target APBN.
Kemenkeu mencatat, sampai akhir Juni, harga minyak mentah Indonesia (ICP) berada pada level 39,98 dolar AS per barel. Sedangkan, target dalam asumsi makro APBN terbaru mencapai Rp 63 dolar AS per barel.
Sementara itu, realisasi lifting minyak dan gas masing-masing hanya 714 ribu barel per hari dan 987,3 ribu barel setara minyak per hari. Realisasi ini di bawah asumsi makro APBN, yaitu 755 ribu barel per hari untuk lifting minyak dan 1.191 ribu barel setara minyak per hari untuk lifting gas.
Kontraksi juga terjadi pada penerimaan pajak sektor non migas. Sampai akhir Juli, pos penerimaan ini hanya berhasil terkumpul Rp 582,1 triliun atau tumbuh negatif 13,1 persen dibandingkan tahun lalu.
Salah satunya yang tumbuh negatif paling dalam adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Realisasinya sampai akhir Juli adalah Rp 219,5 triliun, kontraksi 12 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. "Ini lebih menggambarkan denyut ekonomi kita," kata Sri.
Situasi agak membaik terlihat pada penerimaan dari kepabeanan dan cukai yang sebesar Rp 109,1 triliun sampai akhir Juli. Realisasi ini tumbuh positif 3,7 persen dibandingkan tahun lalu, Rp 105,2 triliun. Pertumbuhan terutama terjadi pada komponen cukai yang positif tumbuh tujuh persen menjadi Rp 88,4 triliun.
Sedangkan, pajak perdagangan internasional mengalami tekanan dengan mengalami pertumbuhan negatif 8,4 persen menjadi Rp 20,6 triliun sampai 31 Juli. "Ini sesuai indikator dari ekspor dan impor kita," ujar Sri.