EKBIS.CO, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berperan cukup besar untuk mengatasi perubahan iklim. Menurut catatannya, alokasi APBN untuk program tersebut adalah rata-rata Rp 89,6 triliun tiap tahun selama lima tahun terakhir.
Sementara itu, total kebutuhan pembiayaan perubahan iklim yang sudah teridentifikasi adalah Rp 3.461 triliun atau rata-rata Rp 266,2 triliun per tahun. "Artinya, APBN sudah mendanai sekitar 34 persen dari total kebutuhan pembiayaan perubahan iklim dalam lima tahun terakhir," ujarnya dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (27/8).
Sri mengakui, masih dibutuhkan sumber pendanaan lain untuk menutupi kesenjangan 66 persen dari kebutuhan anggaran. Khususnya untuk mencapai target penurunan emisi 29 persen pada 2030, sesuai dengan Nationally Determined Contribution (NDC) yang sudah ditetapkan Indonesia.
Kebutuhan tersebut semakin tinggi seiring dengan penurunan alokasi pendanaan iklim pada 2020 dikarenakan kebijakan realokasi dan refocusing APBN untuk penanganan pandemi Covid-19.
Oleh karena itu, Sri mengatakan, pemerintah perlu mendorong mobilisasi sumber pendanaan iklim di luar APBN untuk mencapai target NDC. Salah satunya, kerja sama dengan Bank Dunia melalui Forest Carbon Partnership Facility (FCPF).
Dengan skema ini, Indonesia berpotensi mendapatkan 110 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,6 triliun untuk mencegah kerusakan hutan dan deforestasi, terutama di Kalimantan Timur.
Pendanaan lainnya bersumber dari Bio Carbon Fund yang merupakan fasilitas multilateral. Sri menjelaskan, Indonesia mendapatkan insentif dari sisi pengurangan emisi terkait REDD+ di provinsi Jambi dalam periode 2020-2025. "Indonesia berpotensi mendapatkan dana hingga 77 juta berdasarkan kinerja penurunan emisinya," ucap mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu.
Terbaru, Indonesia baru saja menerima kucuran dana dari Global Climate Fund (GCF) sebesar 103,78 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,5 triliun (kurs Rp 14.700 per dolar AS). Pendanaan didapatkan karena Indonesia mampu mengurangi emisi 20,25 juta ton CO2 equivalent selama periode 2014 hingga 2016.
Pendanaan didapatkan dengan skema Result Based Payment (RBP) atau pembayaran berbasis hasil kinerja terhadap program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation+ (REDD+). Indonesia merupakan negara non Amerika Latin pertama yang mengakses skema ini, serta menjadi penerima dana hibah terbesar di atas Brasil yang menerima 96,5 juta dolar AS.
Dari data yang dipaparkan Sri, dana itu akan dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dengan durasi penggunaan selama empat tahun. Dana akan dialokasikan untuk memperkuat koordinasi dan implementasi REDD+ dan mekanismenya di Indonesia serta mendukung desentralisasi tata kelola hutan di provinsi.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menekankan, penurunan emisi yang menjadi basis pendanaan GCF bukan klaim Indonesia sepihak. "Tapi, klaim yang sudah diverifikasi atas kebenaran data dan konsistensi metodologi oleh tim teknis independen yang ditunjuk oleh UNFCCC," ujarnya, dalam kesempatan yang sama.
Siti menuturkan, pembiayaan dari GCF akan dikembalikan untuk program-program pemulihan lingkungan, terutama kehutanan dan penanganan deforestasi. Kebijakan ini sesuai dengan arahan Presiden Jokowi.
"Jadi, pasti dikaitkan dengan kebakaran hutan dan lahan dan agenda-agenda dari REDD+, termasuk untuk gambut dan dukungan kepada masyarakat lokal, dalam hal ini masyarakat adat," tuturnya.