Selain nama besar yang mengagumkan, pasangan cinta sejati almarhum B.J. Habibie dan almarhumah Hasri Ainun juga meninggalkan warisan inspirasi dengan lahirnya Orbit Future Academy. OFA didirikan keluarga Habibie dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup melalui inovasi, pendidikan, dan pelatihan keterampilan, karena selama hidupnya, almarhum dan almarhumah telah menjadi kekuatan penggerak yang mendukung pengembangan pendidikan, inovasi dan teknologi di Indonesia.
Ilham Habibie, putra pertama Habibie dan Ainun, mengatakan bahwa ia tidak bisa memungkiri warisan ayahandanya. “Dia sangat bersemangat tentang teknologi dan percaya bahwa teknologi harus dipeluk dan tidak ditakuti. Dia selalu berbicara tentang penggunaan teknologi untuk peningkatan kehidupan sehari-hari orang. Dia selalu percaya bahwa teknologi hanya berguna jika akan meningkatkan kehidupan masyarakat,” ungkapnya. Ilham terinspirasi sang ayah untuk membawa manfaat teknologi ke dalam kehidupan masyarakat di tingkat lokal.
Menurut doktor penerbangan dari Universitas Teknik München, Jerman ini, sebenarnya ia hanya meneruskan apa yang sudah dirintis sang ibunda. Ainun banyak berkecimpung di dunia pendidikan sejak 1990-an dengan mendirikan yayasan Orbit, yang telah memberikan beasiswa kepada puluhan ribu anak di puluhan kota di Indonesia. “Yayasan Ibu tersebut dijalankan oleh orang-orang timnya Ibu dan fokus ke beasiswa, sedangkan OFA menggelar pendidikan tetapi yang nonformal tanpa gelar,” Ilham menjelaskan.
Kata Future dipakai karena mengacu pada apa yang dibutuhkan Indonesia, yaitu sumber daya manusia yang siap untuk masa depan. “Jadi, OFA ingin berkontribusi menyiapkan SDM yang siap memasuki era dengan karakter sangat kental dengan hal-hal digital. Seluruh kehidupan digerakkan menggunakan teknologi digital,” kata Ilham melalui sambungan telepon.
Baginya, era baru digitalisasi adalah suatu keniscayaan. Digital sudah menjadi bagian dari seluruh proses kerja, proses kehidupan, dan keseharian kita. Maka, sejak dini harus disiapkan literasi digital. “OFA menyelenggarakan kursus-kursus yang terkait dengan kewirausahaan dan digital. Misalnya, kursus terapan seperti kecerdasan buatan (AI). “Di saat ini dan masa depan, ‘melek digital’ atau ‘melek teknologi’ itu sebuah keharusan karena ia akan menjadi motor penggerak bagi siapa pun dengan latar profesi atau pekerjaan apa pun, “ Ilham menjelaskan.
Mewakili kecerdasan orang tuanya, pakar penerbangan kelahiran 16 Mei 1963 ini berharap OFA dapat berkontribusi dan menjembatani untuk menyediakan pendidikan ini dalam bentuk pendidikan informal. Dan karena sekarang dalam masa pandemi, OFA pun menyiapkan materi secara online. Bahkan, juga menyediakan materi belajar secara digital. Siswa bisa akses dan belajar sendiri, sementara peran guru adalah membantu mereka mencerna materi tersebut menjadi pengetahuan. “Jadi, itu saya kira masa depan pendidikan kita. Tapi tidak menutup kemungkinan, pascpandemi kami akan menggabungkan antara pendidikan online dan onsite,” katanya.
Diakui Ilham, belakangan OFA terus memperluas kegiatannya. Antara lain, tahun lalu, bekerjasama dengan Pemerintah Kota Bandung dan IPB, membantu memberikan pembinaan untuk startup. Di Bandung ditujukan untuk masyarakat umum, sedangkan di IPB untuk mahasiswa dan ekosistem akademisi. Dalam hal memberikan pelatihan bagi startup yang bergerak di bidang teknologi ini, OFA bekerjasama dengan Yayasan Inovasi Teknologi Indonesia (INOTEK), inkubator bisnis untuk mendukung pengembangan usaha baru, kecil, dan menengah berbasis teknologi tepat guna.
Bersama INOTEK, akhir Juni lalu Ilham bersama Sandiaga Uno meluncurkan program kewirausahaan nasional “Seribu Teknopreneur, Sejuta Pekerjaan” (STSP). Ini adalah program yang disusun oleh para pemikir terbaik, yang berkolaborasi dan bermitra dengan perusahaan, organisasi, dan universitas terkemuka di Indonesia.
“1.000 technopreneur kami akan terampil, untuk membantu kami mencapai penciptaan lapangan kerja massal dan membangkitkan kembali energi lokal, dengan bantuan teknologi yang sangat mudah dipelajari,” ungkap Sachin V. Gopalan, CEO dan co-founder OFA.
Yang terbaru, OFA menjalin kerjasama dengan Cultus, lembaga nirlaba dari India yang memberikan berbagai solusi pendidikan di bawah satu atap menciptakan CORE (Covid Readiness), alat pengujian kesiapan pelaku usaha terhadap Covid-19 yang pertama di dunia.
Nalin Singh, co-founder dan COO OFA, mengatakan bahwa itu bermula dari pemikiran bahwa seluruh bisnis di seluruh dunia terdampak wabah Covid-19. Yang artinya 70% manusia di bumi ini terdampak, baik secara kesehatan, ekonomi, maupun sosial. Di pihak lain, orang ingin tahu ini bakal berlangsung berapa lama, dan bagaimana dampaknya ke bisnis mereka.
“Maka, kami ingin membantu bisnis untuk mengukur seberapa terdampaknya dan masih adakah kekuatannya? Apa yang bisa dia (business owner atau manajemennya) lakukan untuk keluar atau bertahan? Dan dampaknya juga berubah setiap hari, kan?” kata Nalin. “Kami berlima mencoba menemukan solusinya dari sisi teknologi,” lanjutnya. Kelima pendiri itu adalah Ilham, Sachin Gopalan, Danny Tjio Deni (CIO Grup Sinarmas), Sunil Girdhar, dan Nalin.
Mengenai CORE, alat pengujian kesiapan pelaku usaha terhadap Covid-19 ini menggunakan peralatan algoritma yang kuat yang memungkinkan seorang individu menguji dampak Covid-19 terhadap aktivitas bisnis mereka. Jadi, CORE menganalisis 28 faktor yang memengaruhi para pelaku usaha saat ini, bersamaan dengan jawaban yang diberikan pengguna secara online untuk memformulasi nilai dampak terkuantifikasi, antara 0 dan 99. Nilai rendah mengindikasikan kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi perusahaan di masa mendatang, sementara nilai tinggi tidak hanya menandakan bahwa perusahaan sehat, tetapi juga mengindikasikan adanya potensi peluang untuk tumbuh.
Perusahaan gabungan India-Indonesia ini mendukung para pelaku usaha lewat basis analitik untuk menguji dan memformulasi rencana bisnis dan startegi jangka panjang untuk era pasca-Covid-19. Selain itu, alat ini menghasilkan laporan hanya dalam empat jam setelah pengguna mengumpulkan jawaban mereka dan harganya juga sangat rasional, Rp 138.763 (US$9,45). Waktu yang dibutuhkan bagi seorang pengguna untuk mengoperasikan alat ini tidak lebih dari 30 menit. Laporan yang dihasilkan disertai dengan penjelasan yang diberikan oleh pemimpin industri dan penjelasan berbagai kemungkinan skenario bagi aktivitas bisnis sehingga membantu pelaku usaha menghadapi berbagai potensi tantangan.
Nalin yang merupakan pemimpin proyek ini menjelaskan, alat ini memberikan kepada pemilik usaha pemahaman terhadap tingkat kesulitan yang dihasilkan Covid-19 terhadap bisnis mereka, baik itu positif maupun negatif. Juga, memberikan pemilik bisnis baseline untuk menjadi yang pertama dalam merencanakan dunia pasca-Covid-19. Online tool ini tersedia di berbagai platform, termasuk di website.
Arsitek Teknik Sunil Girdhar menambahkan dari sisi tantangan yang dihadapi dalam membangun alat pengujian. “Ini tidak hanya soal pemberian nilai. Ada banyak faktor yang memengaruhi aktivitas usaha, baik secara individual maupun kombinasi lokasi kegiatan usaha, lokasi customer, posisi uang tunai, jenis industri, disrupsi rantai pasok, dan sebagainya. Alat ini muncul sebagai kuesioner 30 menit di front-end, tetapi kompleksitas algoritmanya sangat besar.
Sachin V. Gopalan, yang membantu membangun rencana jangkauan strategis, menyatakan bahwa pihaknya akan menggunakan alat ini untuk menguji tidak hanya lebih dari 10.000 perusahaan dan startup existing partner di ekosistemnya. Namun, juga 3.500 startup pasca-Covid-19 baru; pihaknya diminta untuk menginkubasi, melatih, dan mementor mereka dalam tiga tahun ke depan.
CORE awalnya lahir sebagai alat uji cepat. Namun, nantinya akan menggunakan elaborasi algoritma AI untuk memberikan saran dan rekomendasi tentang arah dan pendekatan baru berdasarkan data yang berkembang dari wisdom dan aksi bersama antara perusahaan, pelaku usaha, dan pelaku inovasi yang dengan beragam cara merespons dampak Covid-19 terhadap bisnis. (*)
Dyah Hasto Palupi/Arie Liliyah